Oleh : Husein Muhammad
Selama
berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan
dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus
direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia
mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh
perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual. Tetapi
dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan
materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia ibu, ia
dipandang dengan penuh kekaguman: “surga di telapak kaki ibu”. Tetapi
pada saat yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua. Dia terlarang
tampil di panggung politik yang hingar-bingar. Ketika di meja makan, ibu
setia menunggu bapak dan anak lelaki sampai mereka kenyang. Ketika ia
seorang isteri, dia harus tunduk sepenuhnya kepada lelaki, suaminya. Ia
tak boleh cemberut manakala suami bergairah terhadap tubuhnya, kapan
saja, di mana saja dan dengan cara apa saja.
Perempuan itu indah. Di banyak bagian dunia Arab, tubuh perempuan
harus dilindungi dan dibungkus rapat-rapat, sering hanya menyisakan dua
buah bola matanya atau bahkan acap wajahnya dilekatkan cadar hitam.
Tubuhnya terlarang menantang laki-laki. Konon ini karena di dalamnya
menyimpan sesuatu yang amat berharga. Bila melepaskan bungkus tubuhnya
di ruang sosial, dia harus “ditertibkan” dan pelanggaran atasnya harus
dihukum. Kemanapun dia harus selalu dikontrol. Hari ini, konon, di Saudi
Arabia kontrol atas tubuhnya dilakukan dengan teknologi “remote”.
Seorang feminis muslim Iran, Haideh Moghissi, mengemukakan keadaan di
atas dengan tajam: ”Ekspresi perempuan atas keinginan-keinginannya dan
usahanya untuk memperoleh hak-haknya terlalu sering dianggap
bertentangan dengan kepentingan-kepentingan laki-laki dan melawan
hak-hak laki-laki atas perempuan yang telah diberikan oleh Tuhan”.
Menurutnya, alasan utama untuk mendukung praktik-praktik kontrol atas
seksualitas dan moralitas perempuan adalah “adanya anggapan bahwa
perempuan merupakan makhluk lemah dalam pertimbangan moral, memiliki
kemampuan kognitif yang rendah, kuat secara seksual dan mudah
terangsang. Dalam perspektif ini, perempuan cenderung melakukan
pelanggaran.”
[1] Lelaki begitu perkasa dan pemilik otoritas raja bahkan boleh jadi dewa.
Dalam konteks tradisi keagamaan, seluruh perbincangan tentang tubuh perempuan di atas merujuk pada dua kata sakti. Pertama:
“Qiwamah al-Rajul” (kepemimpinan laki-laki)
. Kata
ini disebut dalam teks suci paling otoritatif: al-Qur’an. Ayat ini
dalam cara pandang laki-laki, memberi norma otoritas permanen bagi semua
laki-laki yang dari situ seluruh relasi gender dibangun di segala ruang
dan waktu. Pandangan yang kritis atas ayat ini menunjukkan sebaliknya.
Ia bukanlah ayat normatif dan tidak universal. Ia kontekstual dan nisbi.
Kedua
“al-Fitnah”. Kata ini
dalam konteks gender,
acapkali dimaknai dalam nada stigmatik terhadap perempuan. Perempuan
adalah sumber godaan hasrat seksual, pemicu kerusakan/ kekacauan sosial,
dan yang menjerumuskan lelaki dalam petaka nestapa.
Pandangan bahwa perempuan sumber petaka dan kesialan laki-laki
sesungguhnya tidak hanya berlaku dalam masyarakat Islam. Dalam dunia
Eropa yang Kristen perempuan juga dianggap kurang layak bagi
tingkah-laku moral. Hasrat-hasrat dalam tubuh perempuan mendorongnya
untuk berjalan menuju setiap kejahatan. Laki-laki harus mengawasi setiap
tingkah laku perempuan dan perempuan diciptakan untuk taat kepada
laki-laki. St. Agustinus (354-430), bapak spiritualitas dunia barat,
mengingatkan jemaatnya bahwa “melalui seorang perempuan dosa pertama
datang, dosa yang membawa kematian bagi kita semua.”
[2]
Pendeknya dalam banyak atau bahkan segala peradaban, perempuan tidak
pernah menjadi manusia yang utuh, independen dan otonom. Mereka tidak
dianggap sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang setara
dalam memenuhi hak-hak sosial, ekonomi dan politik, bahkan hak-hak
Tuhan. Perempuan seakan-akan tidak boleh memiliki dunia.
Ziya Gokalp (lahir 1876), penyair nasionalis besar dari Turki,
bersenandung dalam desahan nafas panjang tentang realitas-realitas di
atas:
Kekasihku-matahariku-bulanku-bintangku!
Dialah yang membikin aku mengerti puisi
Bagaimana mungkin undang-undang suci dari Tuhan
Memandang makhluk-makhluk
Menjadi tubuh yang hina-papa
Itu, pastilah ada tafsir yang keliru
Patriarkhisme
Pandangan-pandangan paradok, ambigu sekaligus penuh dengan
nuansa-nuansa yang merendahkan, menguasai dan menindas perempuan di atas
memperlihatkan bahwa perempuan hanya dilihat semata-mata dari aspek
tubuh, seks dan biologis yang menjadi sumber kenikmatan hidup laki-laki.
Pandangan penguasaan atas tubuh perempuan ini popular disebut sebagai
pandangan patriarkhisme. Ia adalah sebuah ideologi yang memberikan
kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai dan mendefinisikan
struktur sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dengan perspektif
laki-laki. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan menurut dunia
laki-laki. Ideologi ini terus dihidupkan dalam kurun waktu yang sangat
panjang merasuki segala ruang hidup dan kehidupan manusia. Sementara
perempuan pandang sebaliknya: Ia adalah eksistensi yang rendah, manusia
kelas dua,
the second class, yang diatur, dikendalikan, bahkan
dalam banyak kasus seakan-akan sah pula untuk dieksploitasi dan
dikriminalisasi hanya karena mereka hadir dengan tubuh perempuan.
Konon kisah kejatuhan Adam dari sorga gara-gara Hawa dianggap sebagai
titik awal penindasan tersebut. Ia dihidupkan secara terus menerus dari
generasi ke generasi dan kurun waktu yang sangat panjang melalui
teks-teks keagamaan dan mitologi-mitologi. Tak pelak, jika kondisi
kebudayaan seperti ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk
aturan, kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik diskriminasi,
marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan yang acap kali dianggap
sebagai situasi dan praktik yang wajar, baik-baik saja bahkan paling
ideal.
Pandangan dan pikiran seperti itu dalam banyak sejarah telah melukai
dan menghancurkan berjuta tubuh perempuan dan celakanya, hanya karena
soal tubuh itu, dalam waktu yang sama ia mencerabut ruh, jiwa, pikiran
dan energi perempuan. Bangunan kehidupan yang diciptakan itu
sesungguhnya telah kehilangan pengetahuan yang cukup mendalam tentang
eksistensi perempuan. Mata mereka buta bahwa dalam tubuhnya tersimpan
seluruh potensi besar kemanusiaan. Perempuan memiliki jiwa yang
membuatnya bisa melukis dan menari-nari, akal-intelektual yang
membuatnya bisa mencipta dan menggagas dunia ideal, hati nurani yang
membuatnya bisa menyinta dan merindu dan energi fisik yang membuatnya
selalu memberi dan mengabdi tanpa lelah untuk kehidupan dan bekerja bagi
tanah air. Fakta-fakta sejarah manusia sepanjang zaman; dalam dunia
pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya, seni, dunia
spiritual dan peradaban manusia lainnya telah memperlihatkan eksistensi
potensial perempuan tadi.
Dunia Menggugat
Dewasa ini patriarkhisme tengah menghadapi gempuran-gempuran dahsyat
dari kebudayaan dan peradaban modern, sebuah dunia baru yang mendasarkan
diri pada demokrasi dan hak-hak dasar manusia. Demokrasi meniscayakan
sistem yang mengidealkan tidak adanya struktur hirarkis yang mapan. Ia
adalah sistem kehidupan bersama yang terbuka bagi setiap individu sambil
meniscayakan tanggung jawab dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Dan hak-hak asasi manusia memberi basis fundamental bagi kemerdekaan dan
kesetaraan tiap individu manusia, lelaki, perempuan dan makhluk Tuhan
apa pun.
Para pejuang demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lebih spesifik lagi
hak asasi perempuan menemukan momentum paling signifikan ketika kata
gender lahir. Kata ini kemudian menjadi sebuah alat analisis paling jitu
sekaligus sakti untuk melihat ketimpangan relasi laki-laki dan
perempuan tersebut berikut konsekuensi-konsekuensi dan
implikasi-implikasi yang menyertainya. Melalui alat ini kemapanan dan
pemapanan relasi timpang antara laki-laki dan perempuan dibedah dan
didekonstruksi. Gender tidak bicara soal tubuh manusia. Karena tubuh
manusia berikut seluruh anatominya telah tercipta seperti adanya baik
berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan atau jenis lain, begitu ia
terlempar ke dunia. Ia adalah kreasi Tuhan yang tak dapat ditiru. Gender
bicara tentang apakah yang menggerakkan tubuh manusia. Apakah yang
membuat manusia bisa mengaktualisasikan dan mengekspresikan tubuhnya.
Apakah yang membuat manusia mengerti tentang kehidupan dan memilih,
mempresentasikan kegembiraan atau duka nestapa? Dan seterusnya. Dengan
kata lain gender bicara soal ruh, akal dan energi faktual yang tersimpan
dalam setiap individu manusia yang dengannya manusia mengada,
mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya dalam dunia.
Pertanyaan utamanya adalah apakah ruh, jiwa, akal dan energi
laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan secara berbeda pula, sedemikian
rupa sehingga tak seorangpun mampu merubahnya, sebagaimana jenis
kelamin biologis di atas? Lalu apakah laki-laki memiliki ruh, akal dan
energi yang lebih unggul daripada perempuan? Al-Jahiz (w. 255 H),
sastrawan besar abad III H/IX M, menyampaikan pandangannya yang tajam
mengenai ini :
“Kita tidak mengatakan, dan setiap orang bijak tidak akan mengatakan,
bahwa perempuan lebih unggul atau lebih rendah satu tingkat, dua atau
lebih.”
[3]
Ibnu Rusyd, filosof muslim terbesar menyampaikan pandangannya
sebagaimana yang kemudian dikatakan feminis laki-laki, Qasim Amin:
“Anna al-Ikhtilaf baina al-Nisa wa al-Rijal Innama Huwa fi al-Kamm La fi al-Thab’i” (perbedaan perempuan dan laki-laki hanyalah dalam hal kapasitas bukan dalam hal potensi alamiyahnya/ cetak biru Tuhan).
[4]
Kapasitas adalah sesuatu yang kondisional dan kontekstual. Sesuatu yang
nisbi. Tak seluruh laki-laki memiliki kapasitas intelektual lebih
unggul dari kapasitas intelektual seluruh perempuan, atau sebaliknya,
dan seterusnya. Al-Qur’an dengan sangat indah sekaligus mencengangkan
menyebut kenisbian kapasitas keunggulan ini:
“Ba’dhahum ‘ala Ba’dh”
(sebagian atas sebagian). Kitab suci ini tidak mengatakan: “Seluruh
laki-laki atas seluruh yang lain.” Maka sepanjang orang, siapa saja,
laki-laki atau perempuan, berkehendak mengeksplorasi, mengembangkan,
memekarkan dan menjulangkan potensi dirinya dan ruang di luar dirinya
tak menyergapnya, keunggulan kapasitas itu akan tampak terang-benderang.
Dalam bukunya
“Talkhish al-Siyasah Li Aflathan (Ringkasan buku “Politiea”/ Republik, karya Plato, filosof ini mengatakan:
“Sepanjang perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas
intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil, kita akan menemukan di
antara mereka para filosof/ kaum bijak-bestari, para pemimpin
publik-politik dan semacamnya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa
perempuan seperti itu jarang ada, apalagi terdapat hukum-hukum agama
yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan, meski sebenarnya ada
juga hukum agama yang membolehkannya. Akan tetapi sepanjang
perempuan-perempuan di atas ada, maka itu (kepemimpinan perempuan)
bukanlah hal yang tidak mungkin.”
[5]
Ibnu Arabi, menjadi sufi terbesar sepanjang sejarah dalam dunia
muslim, sesudah memperoleh pengetahuan esoterisnya dari paling tidak
tiga perempuan cerdas dan suci: Fakhr al-Nisa, sufi perempuan terkemuka
dan idola para ulama laki-laki dan perempuan yang darinya dia mengaji
kitab hadits “
Sunan al-Tirmidzîy”, Qurrah al-Ain, perempuan
dengan pengetahuan Ketuhanan yang sangat luar biasa dan Sayyidah Nizham
(Lady Nizham), biasa dipanggil “Ain al-Syams” (sumber cahaya matahari),
dan
“Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar dua kota suci).
[6] Seperti Ibnu Arabi, banyak kaum perennial acap menyebut “Layla” sebagai symbol Tuhan Yang Maha Indah.
Belakang pandangan sarjana dan cendikiawan di atas menginspirasi para
feminis modern, semacam Qasim Amin, Nazhirah Zainuddin, Rifat Hasan,
Asghar Ali Engineer, Laela Ahmad, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud Mohsin,
Nasr Hamid Abu Zaid, dan Khaled Abou Fadl, untuk menyebut beberapa saja.
Pandangan para sarjana dan aktifis muslim ini sangatlah menarik, meski
menyulut kontroversi dan ledakan kemarahan sejumlah pihak di banyak
belahan dunia. Wacana keagamaan diskriminatif, bagi mereka adalah tak
masuk akal, bukan saja karena ia jelas-jelas bertentangan dengan ruh dan
cita-cita keadilan Islam sendiri tetapi juga dalam konteks perkembangan
sosial yang membarui dirinya secara terus menerus tanpa henti. Pada
tataran realitas relasi sosial kontemporer, pandangan-pandangan
konservatif sendiri sejatinya tengah menghadapi proses alienasi sosial
ditinggalkan dan diacuhkan, meskipun terlalu sering kali tidak mereka
sadari. Meskipun tafsir-tafsir dan fiqh-fiqh konvensional di atas masih
terus dibaca dan diajarkan di ruang-ruang pendidikan keagamaan dan
budaya, tetapi secara faktual ia semakin tidak lagi efektif, meski acap
dipaksakan melalui berbagai otoritas keagamaan, bahkan otoritas politik,
dalam kerangka “biar tampil mempesona”. Berbagai keputusan hukum
lembaga-lembaga keagamaan acap hanya sebagai keputusan di atas kertas,
tetapi tidak implementatif dan efektif. Ia muncul atau dimunculkan
entah untuk apa. Realitas perkembangan sosial-ekonomi-politik dewasa ini
jelas-jelas menuntut dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam
aktifitas-aktifitas yang luas dan masif, bukan hanya pada ruang
domestik, menjaga rumah, menunggu suami dan membesarkan serta mendidik
anak-anak mereka, tetapi juga bergulat pada ruang-ruang publik secara
lebih luas. Pergumulan dan keterlibatan mereka dalam ruang-ruang di
atas, bukanlah sekedar untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat
material dan pragmatis belaka, melainkan juga untuk kehendak
mengaktualisasikan dimensi-dimensi kemanusiaan mereka, melepaskan
ketergantungan yang menyiksa, mengembangkan potensi-potensi diri yang
dihambat dan dalam rangka ikut memberi makna kebahagiaan bersama di
tengah warga dunia. Ini adalah keniscayaan perkembangan modernisme yang
tidak dapat disangkal atau dilawan. Ia benar-benar faktual, dan bukan
kehendak-kehendak spekulatif apalagi angan-angan.
Kaum feminis muslim progresif berpendapat bahwa perkembangan dan
dinamika kehidupan di atas haruslah direspon dengan penuh apresiasi oleh
masyarakat muslim semata-mata dalam kerangka Islam, bukan didesakkan
oleh tuntutan-tuntutan dari luar dirinya. Mereka percaya sepenuhnya
bahwa Islam adalah agama keadilan, agama yang merahmati seluruh warga
dunia. Bagi mereka tak ada jalan lain untuk menjawab dinamika sosial di
atas, kecuali melakukan pemaknaan ulang (reinterpretasi) atas teks-teks
keagamaan dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan cita-cita
agama tadi. Setiap pandangan keagamaan yang melahirkan ketidakadilan,
menurut mereka sudah waktunya diinterpretasi ulang. Sambil melancarkan
kritik-kritik terhadap produk pikiran keagamaan diskriminatif, mereka
menawarkan jawaban-jawaban alternatif yang lebih berkeadilan dan
merintis metodologi kontekstual.
Tauhid untuk Keadilan dan Kesalingan
Basis utama perhatian kaum feminis muslim di atas adalah prinsip Tauhid (Ke-Esa-an Tuhan) yang diekpresikan dalam kata-kata
“La Ilaha Illa Allah”.
Prinsip fundamental dan inti Islam ini ingin menegaskan bahwa tidak ada
Tuhan kecuali Allah. Pernyataan ini mengandung makna bahwa tidak ada di
jagat raya ini, Eksistensi Pemilik Otoritas Absolut selain Tuhan,
Allah. Eksistensi Kemahatunggalan Tuhan tidak melulu diajukan dalam
kerangka pemaknaan teosentrisnya, tetapi lebih dalam kerangka manusia
dan kemanusiaan. Dengan kata lain, Ke-Esa-an Tuhan harus menjadi
landasan utama untuk tata kelola manusia dalam siklus kehidupan mereka
di muka bumi ini. Tauhid adalah jantung dan ruh Islam. Kepadanyalah
seluruh gerak dan pemikiran manusia dilandaskan, diarahkan dan
dipersembahkan.
Sayyed Hossein Nasr, salah seorang cendikiawan muslim terkemuka
kelahiran Iran menyatakan: “Jantung atau inti Islam adalah penyaksian
Ke-Esa-an Tuhan, Universalitas, Kebenaran, kemutlakan untuk tunduk
kepada kehendak Tuhan, pemenuhan segala tanggung jawab manusia dan
penghargaan terhadap seluruh makhluk hidup.”
[7]
Pemaknaan Tauhid seperti ini sejatinya mengandung gagasan pembebasan
manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi dan
penindasan atas martabat manusia (dignity) atas dasar apapun. Pada sisi
lain gagasan teologis ini hendak menempatkan manusia sebagai ciptaan
Tuhan yang terhormat dengan konsekuensi keniscayaan bagi setiap individu
atau kelompok manusia memandang sesamanya sebagai makhluk yang mandiri
(bebas) dan dalam posisi yang setara serta memperlakukannya secara adil
dan kesalingan proporsional. Keadilan tidak bicara tubuh laki-laki atau
perempuan, tetapi soal nilai-nilai dan kualitas-kualitas dalam diri yang
dengannya tubuh memperoleh tempat dan peran yang tepat.
Inti teologi Tauhid mengharuskan kita menata kehidupan sosial,
budaya, ekonomi dan politik dalam perspektif kemandirian (kebebasan),
kesetaraan, keadilan dan kesalingan. Terma-terma tiga yang pertama ini
disebutkan dalam teks otoritatif Islam: Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dalam
porsi yang amat banyak. Gagasan relasi kesalingan (resiprokal/
resiprosity)
diungkapkan dalam sejumlah teks-teks suci ini. Satu di antaranya
adalah: “Di antara tanda-tanda kemahabijaksanaan dan kemahagungan Allah
adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan dari jenis yang sama denganmu
agar kamu damai bersamanya. Dan Allah menjadikan kamu dan pasanganmu
(untuk) saling mencinta dan saling menyayangi. Sesungguhnya pada semua
hal ini ada tanda-tanda kemahabijaksanaan Allah bagi orang-orang yang
berpikir”.(Q.S. al-Rum, [30]:21).
Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi, mengatakan: “Aku, sungguh, ingin
tampil menarik di hadapan isteriku, sebagaimana aku ingin isteriku
tampil menarik di hadapanku.”
[8]
Saya kira kata paling
genuine untuk mewadahi seluruh nilai kebaikan adalah kata
“Taqwa”
yang berulangkali disebut dalam teks-teks suci al-Qur’an dan hadits
Nabi. Ia tidak sekedar ditunjukkan oleh ketekunan seseorang dalam
ritual-ritual personal-individual, sebagaimana sering dipersepsikan
banyak orang. Ia adalah puncak dari seluruh bangunan kehidupan manusia
dalam Islam baik dalam relasi personal maupun antar personal. Dan kata
Nabi:
“Al-Taqwa Ha Huna, al-Taqwa Ha Huna al-Taqwa Ha Huna” (Taqwa itu di sini, Taqwa itu di sini, Taqwa itu di sini), sambil menekankan tangan ke dada tempat jantung berada.
Makna lain dari kata Taqwa adalah “Ihsan” (membagi Kebaikan). Sayyed
Hossein Nasr, menyebutnya sebagai “Keindahan”. Katanya: “Ia adalah
mencintai Tuhan dan mencintai makhluk-Nya karena Tuhan. Ihsan adalah
kedamaian dalam jiwa seseorang, yaitu dalam kondisi keseimbangan dan
harmonis dengan dunia, di dalam dan di luar.” Ia adalah visi kehidupan
manusia dalam skala universal.
Cirebon, 30-03-13
Husein Muhammad
Pengasuh Pesantren dan Komisioner Komnas Perempuan
Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Perempuan Edisi : Agama dan Seksualitas.
[1] Haideh Moghissi,
Feminisme dan Fundamentalisme Islam, LKiS, Yogyakarta-ICIP, Jakarta, Cet.I, 2005, hlm. 29).
[2] Anthony Synnott,
Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri dan Masyarakat, Jalasutra, Yogyakarta, cet.II,2007,hlm. 72).
[3] Al-Jahizh,
Rasail al-Jahizh, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Vol. 3, Cet.I, 2000, hlm. 115.
[4] Farah Anthon,
Ibnu Rusyd wa Falsafatuhu, Dar al-Farabi, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1988, hlm. 124.
[5] Ibnu Rusyd,
Talkhish al-Siyasah li Aflathon, Terjemahan Hasan Majid al-Ubaidi dan Fathimah Kazhim al-Dzahabi, Dar al-Thali’ah, Beirut, Cet. I, 1998, hlm. 125).
[6] Ibnu Arabi,
Dzkhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. II, 2006, hlm. 7-8.
[7] Sayyed Hossein Nasr,
The Heart of Islam, Pesan-pesan Kemanusiaan Islam, Mizan, Bandung, Cet. I, 2003, hlm. 384.
[8] Al-Baihaqi,
Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Vol. VII, hlm. 295, Hadits No. 14505