Jumat, 19 Juli 2013
BUKAN SOAL TUBUH, TETAPI RUH
Oleh : Husein Muhammad
Selama
berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan
dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus
direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia
mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh
perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual. Tetapi
dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan
materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia ibu, ia
dipandang dengan penuh kekaguman: “surga di telapak kaki ibu”. Tetapi
pada saat yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua. Dia terlarang
tampil di panggung politik yang hingar-bingar. Ketika di meja makan, ibu
setia menunggu bapak dan anak lelaki sampai mereka kenyang. Ketika ia
seorang isteri, dia harus tunduk sepenuhnya kepada lelaki, suaminya. Ia
tak boleh cemberut manakala suami bergairah terhadap tubuhnya, kapan
saja, di mana saja dan dengan cara apa saja.
Perempuan itu indah. Di banyak bagian dunia Arab, tubuh perempuan harus dilindungi dan dibungkus rapat-rapat, sering hanya menyisakan dua buah bola matanya atau bahkan acap wajahnya dilekatkan cadar hitam. Tubuhnya terlarang menantang laki-laki. Konon ini karena di dalamnya menyimpan sesuatu yang amat berharga. Bila melepaskan bungkus tubuhnya di ruang sosial, dia harus “ditertibkan” dan pelanggaran atasnya harus dihukum. Kemanapun dia harus selalu dikontrol. Hari ini, konon, di Saudi Arabia kontrol atas tubuhnya dilakukan dengan teknologi “remote”.
Seorang feminis muslim Iran, Haideh Moghissi, mengemukakan keadaan di atas dengan tajam: ”Ekspresi perempuan atas keinginan-keinginannya dan usahanya untuk memperoleh hak-haknya terlalu sering dianggap bertentangan dengan kepentingan-kepentingan laki-laki dan melawan hak-hak laki-laki atas perempuan yang telah diberikan oleh Tuhan”. Menurutnya, alasan utama untuk mendukung praktik-praktik kontrol atas seksualitas dan moralitas perempuan adalah “adanya anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah dalam pertimbangan moral, memiliki kemampuan kognitif yang rendah, kuat secara seksual dan mudah terangsang. Dalam perspektif ini, perempuan cenderung melakukan pelanggaran.”[1] Lelaki begitu perkasa dan pemilik otoritas raja bahkan boleh jadi dewa.
Dalam konteks tradisi keagamaan, seluruh perbincangan tentang tubuh perempuan di atas merujuk pada dua kata sakti. Pertama: “Qiwamah al-Rajul” (kepemimpinan laki-laki). Kata ini disebut dalam teks suci paling otoritatif: al-Qur’an. Ayat ini dalam cara pandang laki-laki, memberi norma otoritas permanen bagi semua laki-laki yang dari situ seluruh relasi gender dibangun di segala ruang dan waktu. Pandangan yang kritis atas ayat ini menunjukkan sebaliknya. Ia bukanlah ayat normatif dan tidak universal. Ia kontekstual dan nisbi. Kedua “al-Fitnah”. Kata ini dalam konteks gender, acapkali dimaknai dalam nada stigmatik terhadap perempuan. Perempuan adalah sumber godaan hasrat seksual, pemicu kerusakan/ kekacauan sosial, dan yang menjerumuskan lelaki dalam petaka nestapa.
Pandangan bahwa perempuan sumber petaka dan kesialan laki-laki sesungguhnya tidak hanya berlaku dalam masyarakat Islam. Dalam dunia Eropa yang Kristen perempuan juga dianggap kurang layak bagi tingkah-laku moral. Hasrat-hasrat dalam tubuh perempuan mendorongnya untuk berjalan menuju setiap kejahatan. Laki-laki harus mengawasi setiap tingkah laku perempuan dan perempuan diciptakan untuk taat kepada laki-laki. St. Agustinus (354-430), bapak spiritualitas dunia barat, mengingatkan jemaatnya bahwa “melalui seorang perempuan dosa pertama datang, dosa yang membawa kematian bagi kita semua.” [2]
Pendeknya dalam banyak atau bahkan segala peradaban, perempuan tidak pernah menjadi manusia yang utuh, independen dan otonom. Mereka tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam memenuhi hak-hak sosial, ekonomi dan politik, bahkan hak-hak Tuhan. Perempuan seakan-akan tidak boleh memiliki dunia.
Ziya Gokalp (lahir 1876), penyair nasionalis besar dari Turki, bersenandung dalam desahan nafas panjang tentang realitas-realitas di atas:
Kekasihku-matahariku-bulanku-bintangku!
Dialah yang membikin aku mengerti puisi
Bagaimana mungkin undang-undang suci dari Tuhan
Memandang makhluk-makhluk
Menjadi tubuh yang hina-papa
Itu, pastilah ada tafsir yang keliru
Patriarkhisme
Pandangan-pandangan paradok, ambigu sekaligus penuh dengan nuansa-nuansa yang merendahkan, menguasai dan menindas perempuan di atas memperlihatkan bahwa perempuan hanya dilihat semata-mata dari aspek tubuh, seks dan biologis yang menjadi sumber kenikmatan hidup laki-laki. Pandangan penguasaan atas tubuh perempuan ini popular disebut sebagai pandangan patriarkhisme. Ia adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dengan perspektif laki-laki. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan menurut dunia laki-laki. Ideologi ini terus dihidupkan dalam kurun waktu yang sangat panjang merasuki segala ruang hidup dan kehidupan manusia. Sementara perempuan pandang sebaliknya: Ia adalah eksistensi yang rendah, manusia kelas dua, the second class, yang diatur, dikendalikan, bahkan dalam banyak kasus seakan-akan sah pula untuk dieksploitasi dan dikriminalisasi hanya karena mereka hadir dengan tubuh perempuan.
Konon kisah kejatuhan Adam dari sorga gara-gara Hawa dianggap sebagai titik awal penindasan tersebut. Ia dihidupkan secara terus menerus dari generasi ke generasi dan kurun waktu yang sangat panjang melalui teks-teks keagamaan dan mitologi-mitologi. Tak pelak, jika kondisi kebudayaan seperti ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk aturan, kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan yang acap kali dianggap sebagai situasi dan praktik yang wajar, baik-baik saja bahkan paling ideal.
Pandangan dan pikiran seperti itu dalam banyak sejarah telah melukai dan menghancurkan berjuta tubuh perempuan dan celakanya, hanya karena soal tubuh itu, dalam waktu yang sama ia mencerabut ruh, jiwa, pikiran dan energi perempuan. Bangunan kehidupan yang diciptakan itu sesungguhnya telah kehilangan pengetahuan yang cukup mendalam tentang eksistensi perempuan. Mata mereka buta bahwa dalam tubuhnya tersimpan seluruh potensi besar kemanusiaan. Perempuan memiliki jiwa yang membuatnya bisa melukis dan menari-nari, akal-intelektual yang membuatnya bisa mencipta dan menggagas dunia ideal, hati nurani yang membuatnya bisa menyinta dan merindu dan energi fisik yang membuatnya selalu memberi dan mengabdi tanpa lelah untuk kehidupan dan bekerja bagi tanah air. Fakta-fakta sejarah manusia sepanjang zaman; dalam dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya, seni, dunia spiritual dan peradaban manusia lainnya telah memperlihatkan eksistensi potensial perempuan tadi.
Dunia Menggugat
Dewasa ini patriarkhisme tengah menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari kebudayaan dan peradaban modern, sebuah dunia baru yang mendasarkan diri pada demokrasi dan hak-hak dasar manusia. Demokrasi meniscayakan sistem yang mengidealkan tidak adanya struktur hirarkis yang mapan. Ia adalah sistem kehidupan bersama yang terbuka bagi setiap individu sambil meniscayakan tanggung jawab dan penghargaan terhadap martabat manusia. Dan hak-hak asasi manusia memberi basis fundamental bagi kemerdekaan dan kesetaraan tiap individu manusia, lelaki, perempuan dan makhluk Tuhan apa pun.
Para pejuang demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lebih spesifik lagi hak asasi perempuan menemukan momentum paling signifikan ketika kata gender lahir. Kata ini kemudian menjadi sebuah alat analisis paling jitu sekaligus sakti untuk melihat ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan tersebut berikut konsekuensi-konsekuensi dan implikasi-implikasi yang menyertainya. Melalui alat ini kemapanan dan pemapanan relasi timpang antara laki-laki dan perempuan dibedah dan didekonstruksi. Gender tidak bicara soal tubuh manusia. Karena tubuh manusia berikut seluruh anatominya telah tercipta seperti adanya baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan atau jenis lain, begitu ia terlempar ke dunia. Ia adalah kreasi Tuhan yang tak dapat ditiru. Gender bicara tentang apakah yang menggerakkan tubuh manusia. Apakah yang membuat manusia bisa mengaktualisasikan dan mengekspresikan tubuhnya. Apakah yang membuat manusia mengerti tentang kehidupan dan memilih, mempresentasikan kegembiraan atau duka nestapa? Dan seterusnya. Dengan kata lain gender bicara soal ruh, akal dan energi faktual yang tersimpan dalam setiap individu manusia yang dengannya manusia mengada, mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya dalam dunia.
Pertanyaan utamanya adalah apakah ruh, jiwa, akal dan energi laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan secara berbeda pula, sedemikian rupa sehingga tak seorangpun mampu merubahnya, sebagaimana jenis kelamin biologis di atas? Lalu apakah laki-laki memiliki ruh, akal dan energi yang lebih unggul daripada perempuan? Al-Jahiz (w. 255 H), sastrawan besar abad III H/IX M, menyampaikan pandangannya yang tajam mengenai ini :
“Kita tidak mengatakan, dan setiap orang bijak tidak akan mengatakan, bahwa perempuan lebih unggul atau lebih rendah satu tingkat, dua atau lebih.”[3]
Ibnu Rusyd, filosof muslim terbesar menyampaikan pandangannya sebagaimana yang kemudian dikatakan feminis laki-laki, Qasim Amin: “Anna al-Ikhtilaf baina al-Nisa wa al-Rijal Innama Huwa fi al-Kamm La fi al-Thab’i” (perbedaan perempuan dan laki-laki hanyalah dalam hal kapasitas bukan dalam hal potensi alamiyahnya/ cetak biru Tuhan).[4] Kapasitas adalah sesuatu yang kondisional dan kontekstual. Sesuatu yang nisbi. Tak seluruh laki-laki memiliki kapasitas intelektual lebih unggul dari kapasitas intelektual seluruh perempuan, atau sebaliknya, dan seterusnya. Al-Qur’an dengan sangat indah sekaligus mencengangkan menyebut kenisbian kapasitas keunggulan ini: “Ba’dhahum ‘ala Ba’dh” (sebagian atas sebagian). Kitab suci ini tidak mengatakan: “Seluruh laki-laki atas seluruh yang lain.” Maka sepanjang orang, siapa saja, laki-laki atau perempuan, berkehendak mengeksplorasi, mengembangkan, memekarkan dan menjulangkan potensi dirinya dan ruang di luar dirinya tak menyergapnya, keunggulan kapasitas itu akan tampak terang-benderang.
Dalam bukunya “Talkhish al-Siyasah Li Aflathan (Ringkasan buku “Politiea”/ Republik, karya Plato, filosof ini mengatakan:
“Sepanjang perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil, kita akan menemukan di antara mereka para filosof/ kaum bijak-bestari, para pemimpin publik-politik dan semacamnya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa perempuan seperti itu jarang ada, apalagi terdapat hukum-hukum agama yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan, meski sebenarnya ada juga hukum agama yang membolehkannya. Akan tetapi sepanjang perempuan-perempuan di atas ada, maka itu (kepemimpinan perempuan) bukanlah hal yang tidak mungkin.”[5]
Ibnu Arabi, menjadi sufi terbesar sepanjang sejarah dalam dunia muslim, sesudah memperoleh pengetahuan esoterisnya dari paling tidak tiga perempuan cerdas dan suci: Fakhr al-Nisa, sufi perempuan terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan yang darinya dia mengaji kitab hadits “Sunan al-Tirmidzîy”, Qurrah al-Ain, perempuan dengan pengetahuan Ketuhanan yang sangat luar biasa dan Sayyidah Nizham (Lady Nizham), biasa dipanggil “Ain al-Syams” (sumber cahaya matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar dua kota suci).[6] Seperti Ibnu Arabi, banyak kaum perennial acap menyebut “Layla” sebagai symbol Tuhan Yang Maha Indah.
Belakang pandangan sarjana dan cendikiawan di atas menginspirasi para feminis modern, semacam Qasim Amin, Nazhirah Zainuddin, Rifat Hasan, Asghar Ali Engineer, Laela Ahmad, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud Mohsin, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Khaled Abou Fadl, untuk menyebut beberapa saja. Pandangan para sarjana dan aktifis muslim ini sangatlah menarik, meski menyulut kontroversi dan ledakan kemarahan sejumlah pihak di banyak belahan dunia. Wacana keagamaan diskriminatif, bagi mereka adalah tak masuk akal, bukan saja karena ia jelas-jelas bertentangan dengan ruh dan cita-cita keadilan Islam sendiri tetapi juga dalam konteks perkembangan sosial yang membarui dirinya secara terus menerus tanpa henti. Pada tataran realitas relasi sosial kontemporer, pandangan-pandangan konservatif sendiri sejatinya tengah menghadapi proses alienasi sosial ditinggalkan dan diacuhkan, meskipun terlalu sering kali tidak mereka sadari. Meskipun tafsir-tafsir dan fiqh-fiqh konvensional di atas masih terus dibaca dan diajarkan di ruang-ruang pendidikan keagamaan dan budaya, tetapi secara faktual ia semakin tidak lagi efektif, meski acap dipaksakan melalui berbagai otoritas keagamaan, bahkan otoritas politik, dalam kerangka “biar tampil mempesona”. Berbagai keputusan hukum lembaga-lembaga keagamaan acap hanya sebagai keputusan di atas kertas, tetapi tidak implementatif dan efektif. Ia muncul atau dimunculkan entah untuk apa. Realitas perkembangan sosial-ekonomi-politik dewasa ini jelas-jelas menuntut dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam aktifitas-aktifitas yang luas dan masif, bukan hanya pada ruang domestik, menjaga rumah, menunggu suami dan membesarkan serta mendidik anak-anak mereka, tetapi juga bergulat pada ruang-ruang publik secara lebih luas. Pergumulan dan keterlibatan mereka dalam ruang-ruang di atas, bukanlah sekedar untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat material dan pragmatis belaka, melainkan juga untuk kehendak mengaktualisasikan dimensi-dimensi kemanusiaan mereka, melepaskan ketergantungan yang menyiksa, mengembangkan potensi-potensi diri yang dihambat dan dalam rangka ikut memberi makna kebahagiaan bersama di tengah warga dunia. Ini adalah keniscayaan perkembangan modernisme yang tidak dapat disangkal atau dilawan. Ia benar-benar faktual, dan bukan kehendak-kehendak spekulatif apalagi angan-angan.
Kaum feminis muslim progresif berpendapat bahwa perkembangan dan dinamika kehidupan di atas haruslah direspon dengan penuh apresiasi oleh masyarakat muslim semata-mata dalam kerangka Islam, bukan didesakkan oleh tuntutan-tuntutan dari luar dirinya. Mereka percaya sepenuhnya bahwa Islam adalah agama keadilan, agama yang merahmati seluruh warga dunia. Bagi mereka tak ada jalan lain untuk menjawab dinamika sosial di atas, kecuali melakukan pemaknaan ulang (reinterpretasi) atas teks-teks keagamaan dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan cita-cita agama tadi. Setiap pandangan keagamaan yang melahirkan ketidakadilan, menurut mereka sudah waktunya diinterpretasi ulang. Sambil melancarkan kritik-kritik terhadap produk pikiran keagamaan diskriminatif, mereka menawarkan jawaban-jawaban alternatif yang lebih berkeadilan dan merintis metodologi kontekstual.
Tauhid untuk Keadilan dan Kesalingan
Basis utama perhatian kaum feminis muslim di atas adalah prinsip Tauhid (Ke-Esa-an Tuhan) yang diekpresikan dalam kata-kata “La Ilaha Illa Allah”. Prinsip fundamental dan inti Islam ini ingin menegaskan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Pernyataan ini mengandung makna bahwa tidak ada di jagat raya ini, Eksistensi Pemilik Otoritas Absolut selain Tuhan, Allah. Eksistensi Kemahatunggalan Tuhan tidak melulu diajukan dalam kerangka pemaknaan teosentrisnya, tetapi lebih dalam kerangka manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, Ke-Esa-an Tuhan harus menjadi landasan utama untuk tata kelola manusia dalam siklus kehidupan mereka di muka bumi ini. Tauhid adalah jantung dan ruh Islam. Kepadanyalah seluruh gerak dan pemikiran manusia dilandaskan, diarahkan dan dipersembahkan.
Sayyed Hossein Nasr, salah seorang cendikiawan muslim terkemuka kelahiran Iran menyatakan: “Jantung atau inti Islam adalah penyaksian Ke-Esa-an Tuhan, Universalitas, Kebenaran, kemutlakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan, pemenuhan segala tanggung jawab manusia dan penghargaan terhadap seluruh makhluk hidup.”[7]
Pemaknaan Tauhid seperti ini sejatinya mengandung gagasan pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi dan penindasan atas martabat manusia (dignity) atas dasar apapun. Pada sisi lain gagasan teologis ini hendak menempatkan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terhormat dengan konsekuensi keniscayaan bagi setiap individu atau kelompok manusia memandang sesamanya sebagai makhluk yang mandiri (bebas) dan dalam posisi yang setara serta memperlakukannya secara adil dan kesalingan proporsional. Keadilan tidak bicara tubuh laki-laki atau perempuan, tetapi soal nilai-nilai dan kualitas-kualitas dalam diri yang dengannya tubuh memperoleh tempat dan peran yang tepat.
Inti teologi Tauhid mengharuskan kita menata kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam perspektif kemandirian (kebebasan), kesetaraan, keadilan dan kesalingan. Terma-terma tiga yang pertama ini disebutkan dalam teks otoritatif Islam: Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dalam porsi yang amat banyak. Gagasan relasi kesalingan (resiprokal/ resiprosity) diungkapkan dalam sejumlah teks-teks suci ini. Satu di antaranya adalah: “Di antara tanda-tanda kemahabijaksanaan dan kemahagungan Allah adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan dari jenis yang sama denganmu agar kamu damai bersamanya. Dan Allah menjadikan kamu dan pasanganmu (untuk) saling mencinta dan saling menyayangi. Sesungguhnya pada semua hal ini ada tanda-tanda kemahabijaksanaan Allah bagi orang-orang yang berpikir”.(Q.S. al-Rum, [30]:21).
Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi, mengatakan: “Aku, sungguh, ingin tampil menarik di hadapan isteriku, sebagaimana aku ingin isteriku tampil menarik di hadapanku.”[8]
Saya kira kata paling genuine untuk mewadahi seluruh nilai kebaikan adalah kata “Taqwa” yang berulangkali disebut dalam teks-teks suci al-Qur’an dan hadits Nabi. Ia tidak sekedar ditunjukkan oleh ketekunan seseorang dalam ritual-ritual personal-individual, sebagaimana sering dipersepsikan banyak orang. Ia adalah puncak dari seluruh bangunan kehidupan manusia dalam Islam baik dalam relasi personal maupun antar personal. Dan kata Nabi: “Al-Taqwa Ha Huna, al-Taqwa Ha Huna al-Taqwa Ha Huna” (Taqwa itu di sini, Taqwa itu di sini, Taqwa itu di sini), sambil menekankan tangan ke dada tempat jantung berada.
Makna lain dari kata Taqwa adalah “Ihsan” (membagi Kebaikan). Sayyed Hossein Nasr, menyebutnya sebagai “Keindahan”. Katanya: “Ia adalah mencintai Tuhan dan mencintai makhluk-Nya karena Tuhan. Ihsan adalah kedamaian dalam jiwa seseorang, yaitu dalam kondisi keseimbangan dan harmonis dengan dunia, di dalam dan di luar.” Ia adalah visi kehidupan manusia dalam skala universal.
Cirebon, 30-03-13
Husein Muhammad
Pengasuh Pesantren dan Komisioner Komnas Perempuan
Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Perempuan Edisi : Agama dan Seksualitas.
[1] Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, LKiS, Yogyakarta-ICIP, Jakarta, Cet.I, 2005, hlm. 29). [2] Anthony Synnott, Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri dan Masyarakat, Jalasutra, Yogyakarta, cet.II,2007,hlm. 72).
[3] Al-Jahizh, Rasail al-Jahizh, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Vol. 3, Cet.I, 2000, hlm. 115.
[4] Farah Anthon, Ibnu Rusyd wa Falsafatuhu, Dar al-Farabi, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1988, hlm. 124.
[5] Ibnu Rusyd, Talkhish al-Siyasah li Aflathon, Terjemahan Hasan Majid al-Ubaidi dan Fathimah Kazhim al-Dzahabi, Dar al-Thali’ah, Beirut, Cet. I, 1998, hlm. 125).
[6] Ibnu Arabi, Dzkhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. II, 2006, hlm. 7-8.
[7] Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Pesan-pesan Kemanusiaan Islam, Mizan, Bandung, Cet. I, 2003, hlm. 384.
[8] Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Vol. VII, hlm. 295, Hadits No. 14505

Perempuan itu indah. Di banyak bagian dunia Arab, tubuh perempuan harus dilindungi dan dibungkus rapat-rapat, sering hanya menyisakan dua buah bola matanya atau bahkan acap wajahnya dilekatkan cadar hitam. Tubuhnya terlarang menantang laki-laki. Konon ini karena di dalamnya menyimpan sesuatu yang amat berharga. Bila melepaskan bungkus tubuhnya di ruang sosial, dia harus “ditertibkan” dan pelanggaran atasnya harus dihukum. Kemanapun dia harus selalu dikontrol. Hari ini, konon, di Saudi Arabia kontrol atas tubuhnya dilakukan dengan teknologi “remote”.
Seorang feminis muslim Iran, Haideh Moghissi, mengemukakan keadaan di atas dengan tajam: ”Ekspresi perempuan atas keinginan-keinginannya dan usahanya untuk memperoleh hak-haknya terlalu sering dianggap bertentangan dengan kepentingan-kepentingan laki-laki dan melawan hak-hak laki-laki atas perempuan yang telah diberikan oleh Tuhan”. Menurutnya, alasan utama untuk mendukung praktik-praktik kontrol atas seksualitas dan moralitas perempuan adalah “adanya anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah dalam pertimbangan moral, memiliki kemampuan kognitif yang rendah, kuat secara seksual dan mudah terangsang. Dalam perspektif ini, perempuan cenderung melakukan pelanggaran.”[1] Lelaki begitu perkasa dan pemilik otoritas raja bahkan boleh jadi dewa.
Dalam konteks tradisi keagamaan, seluruh perbincangan tentang tubuh perempuan di atas merujuk pada dua kata sakti. Pertama: “Qiwamah al-Rajul” (kepemimpinan laki-laki). Kata ini disebut dalam teks suci paling otoritatif: al-Qur’an. Ayat ini dalam cara pandang laki-laki, memberi norma otoritas permanen bagi semua laki-laki yang dari situ seluruh relasi gender dibangun di segala ruang dan waktu. Pandangan yang kritis atas ayat ini menunjukkan sebaliknya. Ia bukanlah ayat normatif dan tidak universal. Ia kontekstual dan nisbi. Kedua “al-Fitnah”. Kata ini dalam konteks gender, acapkali dimaknai dalam nada stigmatik terhadap perempuan. Perempuan adalah sumber godaan hasrat seksual, pemicu kerusakan/ kekacauan sosial, dan yang menjerumuskan lelaki dalam petaka nestapa.
Pandangan bahwa perempuan sumber petaka dan kesialan laki-laki sesungguhnya tidak hanya berlaku dalam masyarakat Islam. Dalam dunia Eropa yang Kristen perempuan juga dianggap kurang layak bagi tingkah-laku moral. Hasrat-hasrat dalam tubuh perempuan mendorongnya untuk berjalan menuju setiap kejahatan. Laki-laki harus mengawasi setiap tingkah laku perempuan dan perempuan diciptakan untuk taat kepada laki-laki. St. Agustinus (354-430), bapak spiritualitas dunia barat, mengingatkan jemaatnya bahwa “melalui seorang perempuan dosa pertama datang, dosa yang membawa kematian bagi kita semua.” [2]
Pendeknya dalam banyak atau bahkan segala peradaban, perempuan tidak pernah menjadi manusia yang utuh, independen dan otonom. Mereka tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam memenuhi hak-hak sosial, ekonomi dan politik, bahkan hak-hak Tuhan. Perempuan seakan-akan tidak boleh memiliki dunia.
Ziya Gokalp (lahir 1876), penyair nasionalis besar dari Turki, bersenandung dalam desahan nafas panjang tentang realitas-realitas di atas:
Kekasihku-matahariku-bulanku-bintangku!
Dialah yang membikin aku mengerti puisi
Bagaimana mungkin undang-undang suci dari Tuhan
Memandang makhluk-makhluk
Menjadi tubuh yang hina-papa
Itu, pastilah ada tafsir yang keliru
Patriarkhisme
Pandangan-pandangan paradok, ambigu sekaligus penuh dengan nuansa-nuansa yang merendahkan, menguasai dan menindas perempuan di atas memperlihatkan bahwa perempuan hanya dilihat semata-mata dari aspek tubuh, seks dan biologis yang menjadi sumber kenikmatan hidup laki-laki. Pandangan penguasaan atas tubuh perempuan ini popular disebut sebagai pandangan patriarkhisme. Ia adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dengan perspektif laki-laki. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan menurut dunia laki-laki. Ideologi ini terus dihidupkan dalam kurun waktu yang sangat panjang merasuki segala ruang hidup dan kehidupan manusia. Sementara perempuan pandang sebaliknya: Ia adalah eksistensi yang rendah, manusia kelas dua, the second class, yang diatur, dikendalikan, bahkan dalam banyak kasus seakan-akan sah pula untuk dieksploitasi dan dikriminalisasi hanya karena mereka hadir dengan tubuh perempuan.
Konon kisah kejatuhan Adam dari sorga gara-gara Hawa dianggap sebagai titik awal penindasan tersebut. Ia dihidupkan secara terus menerus dari generasi ke generasi dan kurun waktu yang sangat panjang melalui teks-teks keagamaan dan mitologi-mitologi. Tak pelak, jika kondisi kebudayaan seperti ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk aturan, kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan yang acap kali dianggap sebagai situasi dan praktik yang wajar, baik-baik saja bahkan paling ideal.
Pandangan dan pikiran seperti itu dalam banyak sejarah telah melukai dan menghancurkan berjuta tubuh perempuan dan celakanya, hanya karena soal tubuh itu, dalam waktu yang sama ia mencerabut ruh, jiwa, pikiran dan energi perempuan. Bangunan kehidupan yang diciptakan itu sesungguhnya telah kehilangan pengetahuan yang cukup mendalam tentang eksistensi perempuan. Mata mereka buta bahwa dalam tubuhnya tersimpan seluruh potensi besar kemanusiaan. Perempuan memiliki jiwa yang membuatnya bisa melukis dan menari-nari, akal-intelektual yang membuatnya bisa mencipta dan menggagas dunia ideal, hati nurani yang membuatnya bisa menyinta dan merindu dan energi fisik yang membuatnya selalu memberi dan mengabdi tanpa lelah untuk kehidupan dan bekerja bagi tanah air. Fakta-fakta sejarah manusia sepanjang zaman; dalam dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya, seni, dunia spiritual dan peradaban manusia lainnya telah memperlihatkan eksistensi potensial perempuan tadi.
Dunia Menggugat
Dewasa ini patriarkhisme tengah menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari kebudayaan dan peradaban modern, sebuah dunia baru yang mendasarkan diri pada demokrasi dan hak-hak dasar manusia. Demokrasi meniscayakan sistem yang mengidealkan tidak adanya struktur hirarkis yang mapan. Ia adalah sistem kehidupan bersama yang terbuka bagi setiap individu sambil meniscayakan tanggung jawab dan penghargaan terhadap martabat manusia. Dan hak-hak asasi manusia memberi basis fundamental bagi kemerdekaan dan kesetaraan tiap individu manusia, lelaki, perempuan dan makhluk Tuhan apa pun.
Para pejuang demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lebih spesifik lagi hak asasi perempuan menemukan momentum paling signifikan ketika kata gender lahir. Kata ini kemudian menjadi sebuah alat analisis paling jitu sekaligus sakti untuk melihat ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan tersebut berikut konsekuensi-konsekuensi dan implikasi-implikasi yang menyertainya. Melalui alat ini kemapanan dan pemapanan relasi timpang antara laki-laki dan perempuan dibedah dan didekonstruksi. Gender tidak bicara soal tubuh manusia. Karena tubuh manusia berikut seluruh anatominya telah tercipta seperti adanya baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan atau jenis lain, begitu ia terlempar ke dunia. Ia adalah kreasi Tuhan yang tak dapat ditiru. Gender bicara tentang apakah yang menggerakkan tubuh manusia. Apakah yang membuat manusia bisa mengaktualisasikan dan mengekspresikan tubuhnya. Apakah yang membuat manusia mengerti tentang kehidupan dan memilih, mempresentasikan kegembiraan atau duka nestapa? Dan seterusnya. Dengan kata lain gender bicara soal ruh, akal dan energi faktual yang tersimpan dalam setiap individu manusia yang dengannya manusia mengada, mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya dalam dunia.
Pertanyaan utamanya adalah apakah ruh, jiwa, akal dan energi laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan secara berbeda pula, sedemikian rupa sehingga tak seorangpun mampu merubahnya, sebagaimana jenis kelamin biologis di atas? Lalu apakah laki-laki memiliki ruh, akal dan energi yang lebih unggul daripada perempuan? Al-Jahiz (w. 255 H), sastrawan besar abad III H/IX M, menyampaikan pandangannya yang tajam mengenai ini :
“Kita tidak mengatakan, dan setiap orang bijak tidak akan mengatakan, bahwa perempuan lebih unggul atau lebih rendah satu tingkat, dua atau lebih.”[3]
Ibnu Rusyd, filosof muslim terbesar menyampaikan pandangannya sebagaimana yang kemudian dikatakan feminis laki-laki, Qasim Amin: “Anna al-Ikhtilaf baina al-Nisa wa al-Rijal Innama Huwa fi al-Kamm La fi al-Thab’i” (perbedaan perempuan dan laki-laki hanyalah dalam hal kapasitas bukan dalam hal potensi alamiyahnya/ cetak biru Tuhan).[4] Kapasitas adalah sesuatu yang kondisional dan kontekstual. Sesuatu yang nisbi. Tak seluruh laki-laki memiliki kapasitas intelektual lebih unggul dari kapasitas intelektual seluruh perempuan, atau sebaliknya, dan seterusnya. Al-Qur’an dengan sangat indah sekaligus mencengangkan menyebut kenisbian kapasitas keunggulan ini: “Ba’dhahum ‘ala Ba’dh” (sebagian atas sebagian). Kitab suci ini tidak mengatakan: “Seluruh laki-laki atas seluruh yang lain.” Maka sepanjang orang, siapa saja, laki-laki atau perempuan, berkehendak mengeksplorasi, mengembangkan, memekarkan dan menjulangkan potensi dirinya dan ruang di luar dirinya tak menyergapnya, keunggulan kapasitas itu akan tampak terang-benderang.
Dalam bukunya “Talkhish al-Siyasah Li Aflathan (Ringkasan buku “Politiea”/ Republik, karya Plato, filosof ini mengatakan:
“Sepanjang perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil, kita akan menemukan di antara mereka para filosof/ kaum bijak-bestari, para pemimpin publik-politik dan semacamnya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa perempuan seperti itu jarang ada, apalagi terdapat hukum-hukum agama yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan, meski sebenarnya ada juga hukum agama yang membolehkannya. Akan tetapi sepanjang perempuan-perempuan di atas ada, maka itu (kepemimpinan perempuan) bukanlah hal yang tidak mungkin.”[5]
Ibnu Arabi, menjadi sufi terbesar sepanjang sejarah dalam dunia muslim, sesudah memperoleh pengetahuan esoterisnya dari paling tidak tiga perempuan cerdas dan suci: Fakhr al-Nisa, sufi perempuan terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan yang darinya dia mengaji kitab hadits “Sunan al-Tirmidzîy”, Qurrah al-Ain, perempuan dengan pengetahuan Ketuhanan yang sangat luar biasa dan Sayyidah Nizham (Lady Nizham), biasa dipanggil “Ain al-Syams” (sumber cahaya matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar dua kota suci).[6] Seperti Ibnu Arabi, banyak kaum perennial acap menyebut “Layla” sebagai symbol Tuhan Yang Maha Indah.
Belakang pandangan sarjana dan cendikiawan di atas menginspirasi para feminis modern, semacam Qasim Amin, Nazhirah Zainuddin, Rifat Hasan, Asghar Ali Engineer, Laela Ahmad, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud Mohsin, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Khaled Abou Fadl, untuk menyebut beberapa saja. Pandangan para sarjana dan aktifis muslim ini sangatlah menarik, meski menyulut kontroversi dan ledakan kemarahan sejumlah pihak di banyak belahan dunia. Wacana keagamaan diskriminatif, bagi mereka adalah tak masuk akal, bukan saja karena ia jelas-jelas bertentangan dengan ruh dan cita-cita keadilan Islam sendiri tetapi juga dalam konteks perkembangan sosial yang membarui dirinya secara terus menerus tanpa henti. Pada tataran realitas relasi sosial kontemporer, pandangan-pandangan konservatif sendiri sejatinya tengah menghadapi proses alienasi sosial ditinggalkan dan diacuhkan, meskipun terlalu sering kali tidak mereka sadari. Meskipun tafsir-tafsir dan fiqh-fiqh konvensional di atas masih terus dibaca dan diajarkan di ruang-ruang pendidikan keagamaan dan budaya, tetapi secara faktual ia semakin tidak lagi efektif, meski acap dipaksakan melalui berbagai otoritas keagamaan, bahkan otoritas politik, dalam kerangka “biar tampil mempesona”. Berbagai keputusan hukum lembaga-lembaga keagamaan acap hanya sebagai keputusan di atas kertas, tetapi tidak implementatif dan efektif. Ia muncul atau dimunculkan entah untuk apa. Realitas perkembangan sosial-ekonomi-politik dewasa ini jelas-jelas menuntut dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam aktifitas-aktifitas yang luas dan masif, bukan hanya pada ruang domestik, menjaga rumah, menunggu suami dan membesarkan serta mendidik anak-anak mereka, tetapi juga bergulat pada ruang-ruang publik secara lebih luas. Pergumulan dan keterlibatan mereka dalam ruang-ruang di atas, bukanlah sekedar untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat material dan pragmatis belaka, melainkan juga untuk kehendak mengaktualisasikan dimensi-dimensi kemanusiaan mereka, melepaskan ketergantungan yang menyiksa, mengembangkan potensi-potensi diri yang dihambat dan dalam rangka ikut memberi makna kebahagiaan bersama di tengah warga dunia. Ini adalah keniscayaan perkembangan modernisme yang tidak dapat disangkal atau dilawan. Ia benar-benar faktual, dan bukan kehendak-kehendak spekulatif apalagi angan-angan.
Kaum feminis muslim progresif berpendapat bahwa perkembangan dan dinamika kehidupan di atas haruslah direspon dengan penuh apresiasi oleh masyarakat muslim semata-mata dalam kerangka Islam, bukan didesakkan oleh tuntutan-tuntutan dari luar dirinya. Mereka percaya sepenuhnya bahwa Islam adalah agama keadilan, agama yang merahmati seluruh warga dunia. Bagi mereka tak ada jalan lain untuk menjawab dinamika sosial di atas, kecuali melakukan pemaknaan ulang (reinterpretasi) atas teks-teks keagamaan dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan cita-cita agama tadi. Setiap pandangan keagamaan yang melahirkan ketidakadilan, menurut mereka sudah waktunya diinterpretasi ulang. Sambil melancarkan kritik-kritik terhadap produk pikiran keagamaan diskriminatif, mereka menawarkan jawaban-jawaban alternatif yang lebih berkeadilan dan merintis metodologi kontekstual.
Tauhid untuk Keadilan dan Kesalingan
Basis utama perhatian kaum feminis muslim di atas adalah prinsip Tauhid (Ke-Esa-an Tuhan) yang diekpresikan dalam kata-kata “La Ilaha Illa Allah”. Prinsip fundamental dan inti Islam ini ingin menegaskan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Pernyataan ini mengandung makna bahwa tidak ada di jagat raya ini, Eksistensi Pemilik Otoritas Absolut selain Tuhan, Allah. Eksistensi Kemahatunggalan Tuhan tidak melulu diajukan dalam kerangka pemaknaan teosentrisnya, tetapi lebih dalam kerangka manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, Ke-Esa-an Tuhan harus menjadi landasan utama untuk tata kelola manusia dalam siklus kehidupan mereka di muka bumi ini. Tauhid adalah jantung dan ruh Islam. Kepadanyalah seluruh gerak dan pemikiran manusia dilandaskan, diarahkan dan dipersembahkan.
Sayyed Hossein Nasr, salah seorang cendikiawan muslim terkemuka kelahiran Iran menyatakan: “Jantung atau inti Islam adalah penyaksian Ke-Esa-an Tuhan, Universalitas, Kebenaran, kemutlakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan, pemenuhan segala tanggung jawab manusia dan penghargaan terhadap seluruh makhluk hidup.”[7]
Pemaknaan Tauhid seperti ini sejatinya mengandung gagasan pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi dan penindasan atas martabat manusia (dignity) atas dasar apapun. Pada sisi lain gagasan teologis ini hendak menempatkan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang terhormat dengan konsekuensi keniscayaan bagi setiap individu atau kelompok manusia memandang sesamanya sebagai makhluk yang mandiri (bebas) dan dalam posisi yang setara serta memperlakukannya secara adil dan kesalingan proporsional. Keadilan tidak bicara tubuh laki-laki atau perempuan, tetapi soal nilai-nilai dan kualitas-kualitas dalam diri yang dengannya tubuh memperoleh tempat dan peran yang tepat.
Inti teologi Tauhid mengharuskan kita menata kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam perspektif kemandirian (kebebasan), kesetaraan, keadilan dan kesalingan. Terma-terma tiga yang pertama ini disebutkan dalam teks otoritatif Islam: Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dalam porsi yang amat banyak. Gagasan relasi kesalingan (resiprokal/ resiprosity) diungkapkan dalam sejumlah teks-teks suci ini. Satu di antaranya adalah: “Di antara tanda-tanda kemahabijaksanaan dan kemahagungan Allah adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan dari jenis yang sama denganmu agar kamu damai bersamanya. Dan Allah menjadikan kamu dan pasanganmu (untuk) saling mencinta dan saling menyayangi. Sesungguhnya pada semua hal ini ada tanda-tanda kemahabijaksanaan Allah bagi orang-orang yang berpikir”.(Q.S. al-Rum, [30]:21).
Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi, mengatakan: “Aku, sungguh, ingin tampil menarik di hadapan isteriku, sebagaimana aku ingin isteriku tampil menarik di hadapanku.”[8]
Saya kira kata paling genuine untuk mewadahi seluruh nilai kebaikan adalah kata “Taqwa” yang berulangkali disebut dalam teks-teks suci al-Qur’an dan hadits Nabi. Ia tidak sekedar ditunjukkan oleh ketekunan seseorang dalam ritual-ritual personal-individual, sebagaimana sering dipersepsikan banyak orang. Ia adalah puncak dari seluruh bangunan kehidupan manusia dalam Islam baik dalam relasi personal maupun antar personal. Dan kata Nabi: “Al-Taqwa Ha Huna, al-Taqwa Ha Huna al-Taqwa Ha Huna” (Taqwa itu di sini, Taqwa itu di sini, Taqwa itu di sini), sambil menekankan tangan ke dada tempat jantung berada.
Makna lain dari kata Taqwa adalah “Ihsan” (membagi Kebaikan). Sayyed Hossein Nasr, menyebutnya sebagai “Keindahan”. Katanya: “Ia adalah mencintai Tuhan dan mencintai makhluk-Nya karena Tuhan. Ihsan adalah kedamaian dalam jiwa seseorang, yaitu dalam kondisi keseimbangan dan harmonis dengan dunia, di dalam dan di luar.” Ia adalah visi kehidupan manusia dalam skala universal.
Cirebon, 30-03-13
Husein Muhammad
Pengasuh Pesantren dan Komisioner Komnas Perempuan
Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Perempuan Edisi : Agama dan Seksualitas.
[1] Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, LKiS, Yogyakarta-ICIP, Jakarta, Cet.I, 2005, hlm. 29). [2] Anthony Synnott, Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri dan Masyarakat, Jalasutra, Yogyakarta, cet.II,2007,hlm. 72).
[3] Al-Jahizh, Rasail al-Jahizh, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Vol. 3, Cet.I, 2000, hlm. 115.
[4] Farah Anthon, Ibnu Rusyd wa Falsafatuhu, Dar al-Farabi, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1988, hlm. 124.
[5] Ibnu Rusyd, Talkhish al-Siyasah li Aflathon, Terjemahan Hasan Majid al-Ubaidi dan Fathimah Kazhim al-Dzahabi, Dar al-Thali’ah, Beirut, Cet. I, 1998, hlm. 125).
[6] Ibnu Arabi, Dzkhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. II, 2006, hlm. 7-8.
[7] Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Pesan-pesan Kemanusiaan Islam, Mizan, Bandung, Cet. I, 2003, hlm. 384.
[8] Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Vol. VII, hlm. 295, Hadits No. 14505
Rabu, 03 Juli 2013
DILEMA PERS: ANTARA REALISTIS, POLITIS DAN IDEALIS
Mahasiswa Diploma Hubungan Masyarakat
“Kita semua menyadari bahwa
perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak sangat pesat dan
telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan
masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita memasuki
abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan
Komunikasi”. (Praktiko:2006)
Media
massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi
menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat
disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya
hidup, serta budaya suatu bangsa.
Menyoal
tentang perkembangan media, dalam perjalanannya ada person yang dalam
aktifitasnya berkontribusi aktif untuk menopang kemajuan teknologi insformasi.
Mereka adalah orang yang dilembagakan untuk menopang perkembangan informasi,
yang biasa kita sebut sebagai pers. Pers sendiri menyadur kata “pers” dalam bahasa Inggris, yang artinya
menekan.
Sistem
pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Ia mempunyai karakteristik
tersendiri dibandingkan dengan sistem lain. Unsur yang paling penting dalam
pers adalah media massa. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi
sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau
menolak kebijakan pemerintah. Lewat media pula berbagai inovasi atau pembaruan
bisa dilaksanakan oleh masyarakat.
Dalam
UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia.
John
Locke pernah mengemukakan sebuah teori Libertarian mengeai pers sendiri, yaitu,
Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana
yang benar dan mana yang salah, antara alternatif yang lebih baik dengan yang
lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan
pilihan-pilihan alternatif. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik
penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia.
Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran.
Sebagai bangsa yang mendeklarasikan
demokrasi menjadi system pemerintahan, Indonesia kemudian menjadikan pers
sebagai salah satu pilar demokrasi kebangsaan. Dimana demokrasi merupakan
system pemerintahan, yang meletakkan rakyat sebagai prioritas utama dalam
menentukan sebuah kebijakan. Karena demokrasi dapat dipahami sebagai suatu tatanan kehidupan
yang dipandu oleh arahan kepentingan bersama. Demokrasi adalah meniscayakan
adanya transparansi, keadilan, serta dalam rangka menuju kebaikan bersama
(baca: kesejahteraan).
Pada
perjalanannya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dewasa ini kita
dihadapkan pada realitas peran pers yang justru kian memposisikan diri jauh
dari rakyat. Sehingga, tidak berlebihan sekiranya ada yang mempertanyakan,
apakah pers saat ini masih relevan disebut sebagai corong rakyat dalam
menyampaikan aspirasi, atau bahkan kehadiran pers hanya jalan pembuka bagi
oknum-oknum atau kelompok yang memiliki kepentingan.
Tengok saja, pasca reformasi 1998,
pers Indonesia seakan menemukan bentuk barunya. Dengan semangat manajemen
professional dalam rangka meningkatkan minat publik terhadap media, hal ini
justru hanya mengkroposkan keindependensian pers dalam mencari dan menyampaikan
informasi. Karena demikian, pers kini dikuasai oleh korporasi konglomerasi yang memiliki tendensi
politik, ada juga yang menyerahkan pers kepada pemilik modal yang menjadikan
pers sebagai alat untuk meraup keuntungan material tanpa mengindahkan kebebasan
dan kenetralan pers.
Akibatnya,
gerakan media yang dimiliki kelompok kepentingan melakukan penggiringan opini, dan
pelemahan-pelemahan kepada kelompok yang memiliki tendensi politik seperti,
pemerintah, dan kelompok elit politik yang dianggap sebagai lawan politik. Hal
demikian semakin nampak, dan berjalan dalam kurun waktu yang lama. Sehingga pada
akhirnya masyarakat dibuat semakin skeptis dan cenderung apatis terhadap setiap
kebijakan pemerintah, dan tergerak memiliki tendensi terhadap kelompok lain.
Lain
halnya jika pers dikuasai oleh pemilik modal, yang menjadikan pers sebagai
ajang bisnis semata. Pada konteks ini pemilik modal akan menjadi penguasa
tunggal yang menginterprestasikan segala yang berhubungan dalam proses
pencarian berita, penelaahan sampai dengan penerbitan, hanya menggunakan kaca
mata bisnis an sich. Hal
ini tentu saja dekat dengan terbitnya suatu berita bukan karena kepentingan
publik, melainkan bisnis dan penanaman modal semata. Pers pun nantinya hanya
terlihat seperti karyawan atau pegawai yang melayani permintaan pemilik modal.
Sehingga kebebasan pers dalam hal
ini akan ditanyakan kembali. Di mana letak kebebasannya dan di mana wewenang
pers untuk mencerdaskan secara netral. Tentunya kasus seperti ini nantinya akan
mendekatkan sistem pers liberal ini kembali kepada otoriter. Yakni penerbitan
informasi sesuai keinginan penguasa, karena pemilik modal tidak semua hanya
seorang pebisnis atau kaum borjuis dan pengusaha tapi mereka yang punya tempat
duduk spesial di dalam pemerintahan di Indonesia.
Penyerahan
kepemilikan media kepada pemilik modal atau kelompok-kelompok yang memiliki
tendensi politik dan pemilik modal, hanya akan mengancam kebebasan pers dalam
menyuarakan aspirasi rakyat. Akan semakin hambar rasanya, semangat demokrasi
kebangsaan, ketika pers dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu. Sementara
itu, bentuk-bentuk ancaman terhadap kebebasan pers adalah ketidakmengertian dan
ketidakpedulian pejabat publik terhadap etika pers serta praktik penegakan
hukum yang tidak paralel dengan perjuangan menjamin kepentingan publik.
Berbicara
dari sudut fungsi, pers idealnya adalah media komunikasi
massa yang menjadi penyalur suara rakyat, penyampai pesan dari dan ke publik,
dan menyampaikan informasi yang berguna bagi publik. Bukan justru mengemukakan
berita yang bersifat tendensius. Pers pun jangan jusru terlihat lemah dihadapan
kelompok penguasa dan pemilik modal. Hal ini bertolak belakang dengan kebebasan
pers dalam mencari dan menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Sungguh
amat disayangkan, jika niat mendirikan perusahaan pers atau media, hanya dalam
rangka membentuk brand image bagi
elite politik, dan menjadikan pers sebagai ajang bisnis untuk meraup keuntungan
oleh pemilik modal. Akhirnya ruang publik tercemari oleh informasi yang tidak
penting untuk diberitakan, dan tidak pula menunjang kehidupan masyarakat yang
lebih baik. Publik hanya dicekoki oleh doktrinasi omong kosong politisi, dan
secara emosional justru banyak media yang mengeksploitasi kemiskinan hanya
untuk meraup keuntungan bagi pemilik modal.
Pada
akhirnya, pers selalu mengambil bentuk dan warna sendiri dalam struktur sistem
sosial dan politik didalam mana ia beroperasi. Pers mencerminkan pengawasan
system antara orang dan system yang diatur. Ia berbicara tentang hakekat
kebenaran, hak-hak kemanusiaan, dan hubungan masyarakat dan Negara. Oleh sebab
itu, pers haruslah bersifat independen, dan tidak dapat terkontaminasi oleh
variable-variabel pengikat yang justru menentang keidealismean pers itu
sendiri. Yaitu sebagai pilar demokrasi, yang menjadi ruang aspirasi dan
penyampaian harapan rakyat.
Senin, 01 Juli 2013
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA OMBAK ( PLTO)
Ombak dikenal sebagai gelombang dalam (internal wave).
Fenomena ini juga ada dalam bidang meteorologi, dimana gelombang
menjalar pada lapisan antar muka antara udara yang hangat dan dingin
(lihat gambarnya di sini dan sini, karena kedua bidang ilmu ini memang
memiliki banyak kesamaan yaitu sama-sama berkecimpung dengan fluida.
Para ahli meteorologi lebih banyak berkecimpung dengan fluida dalam
bentuk gas yaitu atmosfer, sedangkan para ahli oseanografi lebih banyak
berkecimpung dengan fluida dalam bentuk cair yaitu air laut.
Pembahasan
mengenai gelombang dalam oseanografi secara umum dapat dibagi menjadi 2
bagian yaitu gelombang permukaan dan gelombang internal. Gelombang
permukaan adalah fenomena yang akan kita temui ketika mengamati
permukaan air laut, dan biasa disebut sebagai ombak. Salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya ombak adalah hembusan angin, disamping ada
pula faktor lain seperti pasang surut laut yang terjadi akibat adanya
gaya tarik bulan dan matahari.
Sebagai
negara yang lebih dari 2/3 wilayahnya berupa perairan, Indonesia
tentunya harus mampu mengolah potensi perairan yang ada. Tidak hanya
dari potensi sumber daya hayati yang ada, tetapi juga dari potensi
energi ombak yang dimilikinya. Sehingga dibahas mengenai potensi energi
gelombang di salah satu daerah di Indonesia dan kemungkinan
pengembangannya sebagai pembangkit listrik tenaga ombak yang komersial.
Daerah
Sabang dipilih sebagai lokasi yang cukup potensial karena lokasinya
berdekatan dengan Samudra Hindia serta daerah ini tidak berhadapan
dengan banyak pulau yang dapat mengurangi energi yang terkandung dalam
gelombang. Selain itu data yang diperoleh pada daerah ini cukup baik dan
lengkap. Data yang diperoleh berupa data angin setiap 3 jam selama
setahun. Dari data angin ini, diolah menjadi data gelombang melalui
beberapa tahapan prosedur.
Data
gelombang yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian besar gelombang
terjadi dalam arah barat dan timur, serta sebagian kecil dalam arah
barat daya. Sedangkan energi gelombang yang dominan hanya terdapat pada
arah barat dan timur, karena pada arah barat daya gelombang yang terjadi
hanya memiliki ketinggian dan perioda yang kecil.
Ternyata ombak punya kekuatan yang luar biasa. Itulah sebabnya orang Portugal membangun Agucadoura, pembangkit listrik tenaga ombak pertama di dunia di pesisir pantai portugal.
Contoh Ombak :
Pembakngkit listrik tenaga ombak
ini mempunyai Tiga Wave Converters yang menghasilkan listrik sebesar
2.25MW. Konstruksi alat ini yang berasal dari besi akan naik turun
bersama ombak.
Ternyata
bagian yang mengapung mempunyai Piston Hidrolik yang menancap di dasar
laut, ketika alat yang mengapung naik turun karena ombak, Piston
Hidrolik juga terpompa, inilah yang menghasilkan tenaga listrik.
Tenaga listrik yang dihasilkan akan ditransfrer melalui kabel bawah air yang terhubung dengan stasiun listrik di tepi pantai.
Kumpulan pembangkit listrik tenaga ombak
ini di-klaim bisa mencukupi kebutuhan listrik 1500 rumah. Perkiraan
jika kita menaruh alat yang lebarnya 459 kaki ini di seluruh perairan di
didunia, kita dapat menghasilkan listrik sebesar 2 Tera Watts. Itu bisa mencukupi dua kali lipat kebutuhan listrik seluruhdunia.
Itu baru perkiraan saja sih tapi proyek ini cukup menjanjikan, karena disamping ramah lingkungan, pembangkit listrik tenaga ombak ini bisa jadi solusi krisis energi dunia.
Menurutnya teknologi yang digunakan PLTO Baron, pada prinsipnya
serupa dengan yang dikembangkan di daerah Toftestailen, Norwegia. Namun ia para peneliti lainnya di Indonesia kini sedang mempersiapkan software (piranti lunak) yang unik, lain dari pada yang lain.
serupa dengan yang dikembangkan di daerah Toftestailen, Norwegia. Namun ia para peneliti lainnya di Indonesia kini sedang mempersiapkan software (piranti lunak) yang unik, lain dari pada yang lain.
Instalasi
PLTO terdiri dari tiga bangunan utama, yakni saluran masukan air,
reservoir (penampungan), dan pembangkit. Dari ketiga bangunan tersebut,
unsur yang terpenting adalah pada tahap pemodifikasian bangunan saluran
masukan air yang tampak berbentuk U. Sebab, ia bertujuan untuk menaikkan
air laut ke reservoir.
Bangunan
untuk memasukkan air laut ini terdiri dari dua unit, kolektor dan
konverter. Kolektor berfungsi menangkap ombak, menahan energinya
semaksimum mungkin lalu memusatkan gelombang tersebut ke konverter.
Konverter
yang didesain berbentuk saluran yang runcing di salah satu ujungnya ini
selanjutnya akan meneruskan air laut tersebut naik menuju reservoir.
Karena bentuknya yang spesifik ini, saluran tersebut dinamakan Tapchan
(Tappered channel).
Setelah
air tertampung pada reservoir, proses pembangkitan listrik tidak
berbeda dengan mekanisme kerja yang ada pada Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA). Air yang sudah terkumpul itu diterjunkan ke sisi bangunan
yang lain. Energi potensial inilah yang berfungsi menggerakkan atau
memutar turbin pembangkit listrik.
Dengan
demikian, keuntungan yang didapat dari teknologi PLTO ini antara lain,
selain hemat biaya dari segi investasi maupun operasional, juga
bermanfaat bagi lingkungan hidup. "PLTO ini tidak mengeluarkan limbah
berupa padat, cair, maupun gas, "tutur Andjar. Seperti halnya pada PLTA,
maka PLTO pun bisa dimanfaatkan untuk membudidayakan ikan air laut.
Sebab, pada bangunan reservoirnya banyak sekali mengandung oksigen
akibat gerakan air laut naik menuju reservoir tersebut.
Ditanjau
dari sudut wisata, PLTO Baron diharapkan semakin menambah kashanah
wisata ilmiah di lokasi tersebut. Dengan kata lain tidak tertutup
kemungkinan kalau Pantai Baron nantinya bisa menjadi objek wisata
ilmiah, suatu wisata yang menawarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan
hal tersebut, Pelamis 750 kW diletakkan melintang dari barat ke timur
sehingga dapat menyerap energi dari kedua lokasi tersebut. Tiap unit
Pelamis 750 kW dapat menghasilkan output energi sebanyak 79,5% dari
energi gelombang yang tersedia pada seluruh arah. Faktor kapasitas dari
divais ini hanya sebesar 8%.
Untuk
pembangunan pembangkit listrik tenaga ombak komersial, rating daya dari
Pelamis diturunkan menjadi 100 kW dan efisiensinya diasumsikan bernilai
tetap 80%. Sehingga faktor kapasitas dari tiap unit Pelamis 100 kW
meningkat menjadi 60,10%.
Pembangkit
listrik yang didesain terdiri atas 180 unit Pelamis 100 kW, sehingga
memiliki rating daya 18 MW dan dapat menghasilkan energi listrik sebesar
94.825,8 MWh/tahun. Dengan asumsi tertentu, estimasi biaya untuk
pembangunan pembangkit ini adalah $146 juta. Dengan memperhitungkan
biaya operasional dan pemeliharaan, biaya overhaul dan penggantian, dan
discount rate sebesar 5%, diperoleh harga listrik dari pembangkit ini
adalah 21,60 sen/kWh.
Ombak
di laut (sea waves) mungkin saat ini hanya berguna dan disukai oleh
para surfer (peselancar) tapi tidak lama lagi, ombak juga akan digunakan
untuk pembangkit tenaga listrik.
Pemerintah
Irlandia berencana untuk mengkonversikan ombak menjadi pembangkit
tenaga listrik dengan kapasitas 75 megawatss di tahun 2012. Dan pada
tahun 2020, kapasitasnya akan ditingkatkan menjadi 500
megawatss.Teknologi ini membutuhkan biaya yang lebih banyak dibandingkan
dengan menggunakan sumber lainnya seperti angin karena kontruksi yang
dibangun harus tahan terhadap ombak itu sendiri, air laut yang asin
(bergaram) dan juga badai (storm). Selain Irlandia, Portugal juga sedang
mengerjakan 3 unit pembangkit listrik dengan kapasitas 750 megawatss di
Agucadora Wave Park.
Krisis
energi telah diprediksikan akan melanda dunia pada tahun 2015. Hal ini
dikarenakan semakin langkanya minyak bumi dan semakin meningkatnya
permintaan energi. Untuk itu diperlukan sebuah terobosan untuk
memanfaatkan energi lain, selain energi yang tidak terbarukan. Karena
kalau kita tergantung pada energi tidak terbarukan, maka di masa depan
kita juga akan kesulitan untuk memanfaatkan energi ini karena
keterbatasan populasi dari energi tersebut.
Untuk
itu kita akan mencoba menggali informasi tentang tenaga ombak yang
sebenarnya sudah dimanfaatkan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dan Pemerintah Norwegia sejak tahun 1987, terlihat
bahwa banyak daerah-daerah pantai yang berpotensi sebagai pembangkit
listrik bertenaga ombak. Ombak di sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa,
di atas Kepala Burung Irian Jaya, dan sebelah barat Pulau Sumatera
sangat sesuai untuk menyuplai energi listrik. Kondisi ombak seperti itu
tentu sangat menguntungkan, sebab tinggi ombak yang bisa dianggap
potensial untuk membangkitkan energi listrik adalah sekitar 1,5 hingga 2
meter, dan gelombang ini tidak pecah hingga sampai di pantai. Potensi
tingkat teknologi saat ini diperkirakan bisa mengonversi per meter
panjang pantai menjadi daya listrik sebesar 20-35 kW (panjang pantai
Indonesia sekitar 80.000 km, yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau, dan
sekitar 9.000 pulau-pulau kecil yang tidak terjangkau arus listrik
nasional, dan penduduknya hidup dari hasil laut). Dengan perkiraan
potensi semacam itu, seluruh pantai di Indonesia dapat menghasilkan
lebih dari 2~3 Terra Watt Ekuivalensi listrik, bahkan tidak lebih dari
1% panjang pantai Indonesia (~800 km) dapat memasok minimal ~16 GW atau
sama dengan pasokan seluruh listrik di Indonesia tahun ini.
Untuk
sistem mekaniknya, PLTO dikenal memakai teknologi OWC (Oscillating Wave
Column). Untuk OWC ini ada dua macam, yaitu OWC tidak terapung dan OWC
terapung. Untuk OWC tidak terapung prinsip kerjanya sebagai berikut.
Instalasi OWC tidak terapung terdiri dari tiga bangunan utama, yakni
saluran masukan air, reservoir (penampungan), dan pembangkit. Dari
ketiga bangunan tersebut, unsur yang terpenting adalah pada tahap
pemodifikasian bangunan saluran masukan air yang tampak berbentuk U,
sebab ia bertujuan untuk menaikkan air laut ke reservoir.
Bangunan
untuk memasukkan air laut ini terdiri dari dua unit, kolektor dan
konverter. Kolektor berfungsi menangkap ombak, menahan energinya
semaksimum mungkin, lalu memusatkan gelombang tersebut ke konverter.
Konverter yang didesain berbentuk saluran yang runcing di salah satu
ujungnya ini selanjutnya akan meneruskan air laut tersebut naik menuju
reservoir. Karena bentuknya yang spesifik ini, saluran tersebut
dinamakan tapchan (tappered channel).
Setelah
air tertampung pada reservoir, proses pembangkitan listrik tidak
berbeda dengan mekanisme kerja yang ada pada pembangkit listrik tenaga
air (PLTA). Air yang sudah terkumpul itu diterjunkan ke sisi bangunan
yang lain. Energi potensial inilah yang berfungsi menggerakkan atau
memutar turbin pembangkit listrik. OWC ini dapat diletakkan di sekitar
~50 m dari garis pantai pada kedalaman sekitar ~15 m.
Selain
OWC tidak terapung, kita juga mengenal OWC tidak terapung lain seperti
OWC tidak terapung saat air pasang. OWC ini bekerja pada saat air pasang
saja, tapi OWC ini lebih kecil. Hasil survei hidrooseanografi di
wilayah perairan Parang Racuk menunjukkan bahwa sistem akan dapat
membangkitkan daya listrik optimal jika ditempatkan sebelum gelombang
pecah atau pada kedalam 4-11 meter. Pada kondisi ini akan dapat dicapai
putaran turbin antara 3000-700 rpm. Posisi prototip II OWC (Oscillating
Wave Column) masih belum mencapai lokasi minimal yang disyaratkan,
karena kesulitan pelaksanaan operasional alat mekanis. Posisi ideal akan
dicapai melalui pembangunan prototip III yang berupa sistem OWC apung.
Untuk OWC terapung, prinsip kerjanya sama seperti OWC tidak terapung,
hanya saja peletakannya yang berbeda.
Ini merupakan contoh gambar cara kerja PLTO :
Energi
tidal juga merupakan salah satu macam dari energi ombak. Kelemahan
energi ini diantaranya adalah membutuhkan alat konversi yang handal yang
mampu bertahan dengan kondisi lingkungan laut yang keras yang
disebabkan antara lain oleh tingginya tingkat korosi dan kuatnya arus
laut.
Saat
ini baru beberapa negara yang yang sudah melakukan penelitian secara
serius dalam bidang energi tidal, diantaranya Inggris dan Norwegia. Di
Norwegia, pengembangan energi ini dimotori oleh Statkraft, perusahaan
pembangkit listrik terbesar di negara tersebut. Statkraft bahkan
memperkirakan energi tidal akan menjadi sumber energi terbarukan yang
siap masuk tahap komersial berikutnya di Norwegia setelah energi hidro
dan angin. Keterlibatan perusahaan listrik besar seperti Statkraft
mengindikasikan bahwa energi tidal memang layak diperhitungkan baik
secara teknologi maupun ekonomis sebagai salah satu solusi pemenuhan
kebutuhan energi dalam waktu dekat.
Langganan:
Postingan (Atom)