Mahasiswa Diploma Hubungan Masyarakat
“Kita semua menyadari bahwa
perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak sangat pesat dan
telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan
masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita memasuki
abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan
Komunikasi”. (Praktiko:2006)
Media
massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi
menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat
disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya
hidup, serta budaya suatu bangsa.
Menyoal
tentang perkembangan media, dalam perjalanannya ada person yang dalam
aktifitasnya berkontribusi aktif untuk menopang kemajuan teknologi insformasi.
Mereka adalah orang yang dilembagakan untuk menopang perkembangan informasi,
yang biasa kita sebut sebagai pers. Pers sendiri menyadur kata “pers” dalam bahasa Inggris, yang artinya
menekan.
Sistem
pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Ia mempunyai karakteristik
tersendiri dibandingkan dengan sistem lain. Unsur yang paling penting dalam
pers adalah media massa. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi
sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau
menolak kebijakan pemerintah. Lewat media pula berbagai inovasi atau pembaruan
bisa dilaksanakan oleh masyarakat.
Dalam
UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia.
John
Locke pernah mengemukakan sebuah teori Libertarian mengeai pers sendiri, yaitu,
Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana
yang benar dan mana yang salah, antara alternatif yang lebih baik dengan yang
lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan
pilihan-pilihan alternatif. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik
penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia.
Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran.
Sebagai bangsa yang mendeklarasikan
demokrasi menjadi system pemerintahan, Indonesia kemudian menjadikan pers
sebagai salah satu pilar demokrasi kebangsaan. Dimana demokrasi merupakan
system pemerintahan, yang meletakkan rakyat sebagai prioritas utama dalam
menentukan sebuah kebijakan. Karena demokrasi dapat dipahami sebagai suatu tatanan kehidupan
yang dipandu oleh arahan kepentingan bersama. Demokrasi adalah meniscayakan
adanya transparansi, keadilan, serta dalam rangka menuju kebaikan bersama
(baca: kesejahteraan).
Pada
perjalanannya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dewasa ini kita
dihadapkan pada realitas peran pers yang justru kian memposisikan diri jauh
dari rakyat. Sehingga, tidak berlebihan sekiranya ada yang mempertanyakan,
apakah pers saat ini masih relevan disebut sebagai corong rakyat dalam
menyampaikan aspirasi, atau bahkan kehadiran pers hanya jalan pembuka bagi
oknum-oknum atau kelompok yang memiliki kepentingan.
Tengok saja, pasca reformasi 1998,
pers Indonesia seakan menemukan bentuk barunya. Dengan semangat manajemen
professional dalam rangka meningkatkan minat publik terhadap media, hal ini
justru hanya mengkroposkan keindependensian pers dalam mencari dan menyampaikan
informasi. Karena demikian, pers kini dikuasai oleh korporasi konglomerasi yang memiliki tendensi
politik, ada juga yang menyerahkan pers kepada pemilik modal yang menjadikan
pers sebagai alat untuk meraup keuntungan material tanpa mengindahkan kebebasan
dan kenetralan pers.
Akibatnya,
gerakan media yang dimiliki kelompok kepentingan melakukan penggiringan opini, dan
pelemahan-pelemahan kepada kelompok yang memiliki tendensi politik seperti,
pemerintah, dan kelompok elit politik yang dianggap sebagai lawan politik. Hal
demikian semakin nampak, dan berjalan dalam kurun waktu yang lama. Sehingga pada
akhirnya masyarakat dibuat semakin skeptis dan cenderung apatis terhadap setiap
kebijakan pemerintah, dan tergerak memiliki tendensi terhadap kelompok lain.
Lain
halnya jika pers dikuasai oleh pemilik modal, yang menjadikan pers sebagai
ajang bisnis semata. Pada konteks ini pemilik modal akan menjadi penguasa
tunggal yang menginterprestasikan segala yang berhubungan dalam proses
pencarian berita, penelaahan sampai dengan penerbitan, hanya menggunakan kaca
mata bisnis an sich. Hal
ini tentu saja dekat dengan terbitnya suatu berita bukan karena kepentingan
publik, melainkan bisnis dan penanaman modal semata. Pers pun nantinya hanya
terlihat seperti karyawan atau pegawai yang melayani permintaan pemilik modal.
Sehingga kebebasan pers dalam hal
ini akan ditanyakan kembali. Di mana letak kebebasannya dan di mana wewenang
pers untuk mencerdaskan secara netral. Tentunya kasus seperti ini nantinya akan
mendekatkan sistem pers liberal ini kembali kepada otoriter. Yakni penerbitan
informasi sesuai keinginan penguasa, karena pemilik modal tidak semua hanya
seorang pebisnis atau kaum borjuis dan pengusaha tapi mereka yang punya tempat
duduk spesial di dalam pemerintahan di Indonesia.
Penyerahan
kepemilikan media kepada pemilik modal atau kelompok-kelompok yang memiliki
tendensi politik dan pemilik modal, hanya akan mengancam kebebasan pers dalam
menyuarakan aspirasi rakyat. Akan semakin hambar rasanya, semangat demokrasi
kebangsaan, ketika pers dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu. Sementara
itu, bentuk-bentuk ancaman terhadap kebebasan pers adalah ketidakmengertian dan
ketidakpedulian pejabat publik terhadap etika pers serta praktik penegakan
hukum yang tidak paralel dengan perjuangan menjamin kepentingan publik.
Berbicara
dari sudut fungsi, pers idealnya adalah media komunikasi
massa yang menjadi penyalur suara rakyat, penyampai pesan dari dan ke publik,
dan menyampaikan informasi yang berguna bagi publik. Bukan justru mengemukakan
berita yang bersifat tendensius. Pers pun jangan jusru terlihat lemah dihadapan
kelompok penguasa dan pemilik modal. Hal ini bertolak belakang dengan kebebasan
pers dalam mencari dan menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Sungguh
amat disayangkan, jika niat mendirikan perusahaan pers atau media, hanya dalam
rangka membentuk brand image bagi
elite politik, dan menjadikan pers sebagai ajang bisnis untuk meraup keuntungan
oleh pemilik modal. Akhirnya ruang publik tercemari oleh informasi yang tidak
penting untuk diberitakan, dan tidak pula menunjang kehidupan masyarakat yang
lebih baik. Publik hanya dicekoki oleh doktrinasi omong kosong politisi, dan
secara emosional justru banyak media yang mengeksploitasi kemiskinan hanya
untuk meraup keuntungan bagi pemilik modal.
Pada
akhirnya, pers selalu mengambil bentuk dan warna sendiri dalam struktur sistem
sosial dan politik didalam mana ia beroperasi. Pers mencerminkan pengawasan
system antara orang dan system yang diatur. Ia berbicara tentang hakekat
kebenaran, hak-hak kemanusiaan, dan hubungan masyarakat dan Negara. Oleh sebab
itu, pers haruslah bersifat independen, dan tidak dapat terkontaminasi oleh
variable-variabel pengikat yang justru menentang keidealismean pers itu
sendiri. Yaitu sebagai pilar demokrasi, yang menjadi ruang aspirasi dan
penyampaian harapan rakyat.