Rabu, 03 Juli 2013

DILEMA PERS: ANTARA REALISTIS, POLITIS DAN IDEALIS



Mahasiswa Diploma Hubungan Masyarakat
“Kita semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita memasuki abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan Komunikasi”. (Praktiko:2006)
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa.
Menyoal tentang perkembangan media, dalam perjalanannya ada person yang dalam aktifitasnya berkontribusi aktif untuk menopang kemajuan teknologi insformasi. Mereka adalah orang yang dilembagakan untuk menopang perkembangan informasi, yang biasa kita sebut sebagai pers. Pers sendiri menyadur kata “pers” dalam bahasa Inggris, yang artinya menekan.
Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Ia mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan sistem lain. Unsur yang paling penting dalam pers adalah media massa. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah. Lewat media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat.
Dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
John Locke pernah mengemukakan sebuah teori Libertarian mengeai pers sendiri, yaitu, Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternatif yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan alternatif. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran.
Sebagai bangsa yang mendeklarasikan demokrasi menjadi system pemerintahan, Indonesia kemudian menjadikan pers sebagai salah satu pilar demokrasi kebangsaan. Dimana demokrasi merupakan system pemerintahan, yang meletakkan rakyat sebagai prioritas utama dalam menentukan sebuah kebijakan. Karena demokrasi dapat dipahami sebagai suatu tatanan kehidupan yang dipandu oleh arahan kepentingan bersama. Demokrasi adalah meniscayakan adanya transparansi, keadilan, serta dalam rangka menuju kebaikan bersama (baca: kesejahteraan).
Pada perjalanannya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dewasa ini kita dihadapkan pada realitas peran pers yang justru kian memposisikan diri jauh dari rakyat. Sehingga, tidak berlebihan sekiranya ada yang mempertanyakan, apakah pers saat ini masih relevan disebut sebagai corong rakyat dalam menyampaikan aspirasi, atau bahkan kehadiran pers hanya jalan pembuka bagi oknum-oknum atau kelompok yang memiliki kepentingan.
Tengok saja, pasca reformasi 1998, pers Indonesia seakan menemukan bentuk barunya. Dengan semangat manajemen professional dalam rangka meningkatkan minat publik terhadap media, hal ini justru hanya mengkroposkan keindependensian pers dalam mencari dan menyampaikan informasi. Karena demikian, pers kini dikuasai oleh korporasi konglomerasi yang memiliki tendensi politik, ada juga yang menyerahkan pers kepada pemilik modal yang menjadikan pers sebagai alat untuk meraup keuntungan material tanpa mengindahkan kebebasan dan kenetralan pers.
Akibatnya, gerakan media yang dimiliki kelompok kepentingan melakukan penggiringan opini, dan pelemahan-pelemahan kepada kelompok yang memiliki tendensi politik seperti, pemerintah, dan kelompok elit politik yang dianggap sebagai lawan politik. Hal demikian semakin nampak, dan berjalan dalam kurun waktu yang lama. Sehingga pada akhirnya masyarakat dibuat semakin skeptis dan cenderung apatis terhadap setiap kebijakan pemerintah, dan tergerak memiliki tendensi terhadap kelompok lain.
Lain halnya jika pers dikuasai oleh pemilik modal, yang menjadikan pers sebagai ajang bisnis semata. Pada konteks ini pemilik modal akan menjadi penguasa tunggal yang menginterprestasikan segala yang berhubungan dalam proses pencarian berita, penelaahan sampai dengan penerbitan, hanya menggunakan kaca mata bisnis an sich. Hal ini tentu saja dekat dengan terbitnya suatu berita bukan karena kepentingan publik, melainkan bisnis dan penanaman modal semata. Pers pun nantinya hanya terlihat seperti karyawan atau pegawai yang melayani permintaan pemilik modal.
Sehingga kebebasan pers dalam hal ini akan ditanyakan kembali. Di mana letak kebebasannya dan di mana wewenang pers untuk mencerdaskan secara netral. Tentunya kasus seperti ini nantinya akan mendekatkan sistem pers liberal ini kembali kepada otoriter. Yakni penerbitan informasi sesuai keinginan penguasa, karena pemilik modal tidak semua hanya seorang pebisnis atau kaum borjuis dan pengusaha tapi mereka yang punya tempat duduk spesial di dalam pemerintahan di Indonesia.
Penyerahan kepemilikan media kepada pemilik modal atau kelompok-kelompok yang memiliki tendensi politik dan pemilik modal, hanya akan mengancam kebebasan pers dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Akan semakin hambar rasanya, semangat demokrasi kebangsaan, ketika pers dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu. Sementara itu, bentuk-bentuk ancaman terhadap kebebasan pers adalah ketidakmengertian dan ketidakpedulian pejabat publik terhadap etika pers serta praktik penegakan hukum yang tidak paralel dengan perjuangan menjamin kepentingan publik.
Berbicara dari sudut fungsi, pers idealnya adalah media komunikasi massa yang menjadi penyalur suara rakyat, penyampai pesan dari dan ke publik, dan menyampaikan informasi yang berguna bagi publik. Bukan justru mengemukakan berita yang bersifat tendensius. Pers pun jangan jusru terlihat lemah dihadapan kelompok penguasa dan pemilik modal. Hal ini bertolak belakang dengan kebebasan pers dalam mencari dan menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Sungguh amat disayangkan, jika niat mendirikan perusahaan pers atau media, hanya dalam rangka membentuk brand image bagi elite politik, dan menjadikan pers sebagai ajang bisnis untuk meraup keuntungan oleh pemilik modal. Akhirnya ruang publik tercemari oleh informasi yang tidak penting untuk diberitakan, dan tidak pula menunjang kehidupan masyarakat yang lebih baik. Publik hanya dicekoki oleh doktrinasi omong kosong politisi, dan secara emosional justru banyak media yang mengeksploitasi kemiskinan hanya untuk meraup keuntungan bagi pemilik modal.
Pada akhirnya, pers selalu mengambil bentuk dan warna sendiri dalam struktur sistem sosial dan politik didalam mana ia beroperasi. Pers mencerminkan pengawasan system antara orang dan system yang diatur. Ia berbicara tentang hakekat kebenaran, hak-hak kemanusiaan, dan hubungan masyarakat dan Negara. Oleh sebab itu, pers haruslah bersifat independen, dan tidak dapat terkontaminasi oleh variable-variabel pengikat yang justru menentang keidealismean pers itu sendiri. Yaitu sebagai pilar demokrasi, yang menjadi ruang aspirasi dan penyampaian harapan rakyat.

hmi komsospol



saat-saat paling indah, ialah saat kita dapat berbagi... yakusa