Selasa, 28 Januari 2014

INTELEKTUAL MUDA DI NEGARA MAFIA



“ Sejatinya perubahan itu harus dikejar, karena menunggu perubahan adalah dosa besar revolusi (Lenin) ”.Bangsa yang saat ini sedang mengalami Proses tansisi pasca digulingkannya rezim otoritarian orde baru ke era reformasi yang dianggap lebih relevan bagi rakyat Indonesia. Reformasi diharapkan mampu menjawab keinginan masyarakat Indonesia yang selama perjalanan orde baru, dirasa sangat diktator dan segala kebijakan sangat sentralistik. Maka reformasi meupakan asa masyarakat Indonesia untuk menapak kehidupan yang lebih layak. Namun kenyataannya sudah lebih dari satu dekade reformasi berlangsung di Indonesia, pun tidak mampu menjawab segala kebutuhan dan harapan rakyat Indonesia. Justru reformasi hanya menciptakan raja-raja baru yang berkuasa dan menjelma sebagai mafia yang setiap saat akan melakukan hal yang semena-mena kepada rakyat kecil melalui desentralisasi kekuasaan. Keborokan birokrasi pemerintahan sudah bukan lagi rahasia umum, malah rakyat sudah bosan membicarakan kebobrokan institusi negara tersebut. Krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia adalah dosa besar bersama yang dilakukan pemuda Indonesia. Betapa tidak, perjuangan pemuda kala meruntuhkan rezim orde baru hanya memberikan cek kosong dan kemudian diisi nominalnya oleh para elit-elit politik yang akhirnya menjadikan negeri ini menjadi sarang mafia.Rasanya tidak berlebihan jika bangsa ini menyandang predikat “negara mafia”, karena bangsa Indonesia saat ini tengah diisi oleh para mafia-mafia birokrasi yang sesuka hati merampas kekayaan negara demi keuntungan pribadi. Kekayaan yang seharusnya diperuntukkan menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia, kemudian berubah menjadi alat penyejahteraan kaum elit politik dan para mafia-mafia birokrasi tersebut. Janji-janji kesejahteraan dan keadilan yang merata hanya ada dalam rencana politik untuk mengelabui rakyat dalam rangka pemenuhan hasrat pribadi elit politik. Fenomena ini bukan hanya permasalahan nasional, namun permasalahan yang dialami oleh mayoritas daerah-daerah di Indonesia.
Kebijakan desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah yang dulu dipandang lebih efektif dan efisien prihal membangun dan mewujudkan kesejahteraan rakyat dimasing-masing daerah. Ternyata hanya mampu menciptakan raja-raja kecil di daerah yang dengan kekuasaannya melakukan tindakan sewenang-wenang. Persaingan politik yang terjadi didaerah setiap suksesi pemilihan kepala daerah menyeret rakyat untuk berprilaku pragmatis. Hal ini dikarenakan bertemunya aktor politik pragmatis dengan rakyat pragmatis. Pada akhirnya ini berimbas pada perjalanan pemerintahan suatu daerah yang hanya menjadi lumbung uang untuk aktor politik mengeruk keuntungan, tanpa berfikir tentang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Dalam kondisi negara yang sedemikian pelik, semestinya ada aktor yang mampu menjawab segal kondisi dan situasi seperti ini. Adalah mereka aktor-aktor intelektual muda yang berpegangan dengan ideologinya menciptakan sebuah solusi-solusi kongkret untuk menyelamatkan keadaan bangsa saat ini. Karena khittahnya kaum intelektual mampu menciptakan sebuah solusi-solusi yang kongkret prihal menjawab kondisi yang terjadi disekitarnya (Ali Syari’ati).
Klasifikasi kaum intelektual pun dalam perjalanan mengalami perubahan kategorisasinya sesuai dengan status dan dimensi masng-masing. Menurut Ali Syari’ati kaum intelektual itu bisa disematkan kepada kalangan pemuda yang berfikir untuk mengabdikan dirinya kepada setiap perubahan bangsa. Mereka digolongkan sebagai “kaum intelektual tercerahkan” ini disematkan kepada generasi muda, karena tidak hanya berkutat dengan teori namun juga prakteknya. Sementara yang kedua adalah ilmuwan (teknokrat), dosen atau pegiat pendidikan yang berkutat dibidang teori mereka adalah kaum intelektual Masyarakat. Namun dari sekian klasifikasi, mereka dianggap mampu bersikap independent atau memposisikan dirinya secara ideal. Posisi yang memungkinkan untuk melakukan sebuah perubahan kondisi zaman dan mendorong untuk terciptanya iklim yang kondusif, mampu menawarkan solusi-solusi ideal untuk berlangsungnya kesejahteraan dan kemakmuran. Karena Kaum Intelektual diasosiasikan sebagai kelompok yang memiliki ideologi. Sementara ideologi merupakan sebuah keyakinan dan dan gagasan terhadap sesuatu yang sangat ideal. Berdasarkan alasan tersebutlah, kaum intelektual semestinya ambil sikap dalam menanggapi fenomena yang terjadi didalam kehidupan bangsa dan negara. Dengan kemampuan yang dimiliki dan posisi yang strategis kedudukannya sebagai bagian masyarakat Indonesia.
Namun pada kenyataannya, kaum intelektual saat ini belum bisa diharapkan menjadi aktor perubahan . Kaum intelektual hanya berkutat pada bidang-bidang yang lebih teoritis ketimbang praksis. Ini didasarkan keengganan mereka untuk ikut andil lebih jauh terhadap perubahan-perubahan bangsa saat ini yang dinilai terlalu membuang-buang waktu. Frame berfikir kaum intelektual saat ini telah tereduksi pada hal-hal yang bersifat instan, pragmatis dan politis. Sehingga permasalahan bangsa saat ini tak kunjung menemukan bentuk yang ideal, akibat kaum intelektual yang seharusnya mengambil posisi ditengah-tengah antara birokrasi yang pragmatis dan rakyat yang pragmatis. Kecenderungan ini merupakan sesuatu yang sangat lumrah, jika dikaitkan dengan kondisi zaman yang berlaku saat ini.
Derasnya arus pragmatisme di Indonesia menyeret kaum intelektual untuk ambil sikap sama dengan kebanyakan atau dalam bahasa sehari-hari “ambil posisi aman”. Hal ini dikarenakan kebutuhan pribadi diatas kebutuhan kelompok, dampaknya kaum intelektual terlihat acuh dan enggan ambil sikap. Golongan mahasiswa dengan segala pembenaran bahwa akademis adalah satu-satunya kewajiban yang mesti dijalankan dan ditambah dunia pendidikan saat ini membuat sebuah aturan kepada mahasiswa agar segera lulus, dampaknya gerakan mahasiswa menjadi terhambat dan medio penyampai aspirasi pun tersumbat. Sementara, dosen dan pegiat pendidikan tak jauh bedanya seperti guru-guru SMA yang monoton dan lebih mengedepankan teori kemudian sistem belajar yang tidak mampu menstimulan mahasiswa untuk berinovasi dan menciptakan mahasiswa yang memiliki jiwa yang kritis terhadap fenomena-fenomena.
Dengan begini siapa yang akan menjadi aktor perubahan bangsa saat ini?, Solusinya tetaplah para kaum intelektual. Karena hanya mereka generasi yang masih memiliki ideologi dalam setiap perjalanannya. Ideologi kaum intelektual seperti yang dikatakan Ali Syari’ati adalah sebuah anugerah dan hikmat dalam membuat formula-formula untuk merubah situasi agar lebih baik. Tinggal bagaimana mengkombinasikan antara posisi kaum intelektual yang dianggap ideal dan tetap mengedepankan ideologi bangsanya (pancasila). Sejatinya perubahan suatu bangsa dimulai dari dunia pendidikan seperti perguruan tinggi, dimana didalamnya mengandng unsur-unsru yang saling berkaitan. Teknokrat bertanggung jawab atas sistem yang mampu mengelola agar dapat menciptakan mahasiswa yang kritis dan solutif, agar mampu menjadi aktor perjuangan merubah kondisi bangsa. Sementara mahasiswa mesti mengasah kemampuan sejak mereka menjadi mahasiswa yakni dengan cara berhimpun dan berkelompok dalam organisasi kemahasiswaan agar menjadi kaum yang tercerahkan.
Andai Karl Marx, lahir diabad 21 mungkin tesisnya tentang perubahan hanya dapat dilakukan oleh kaum ploretar akan berubah menjadi kaum intelektual. Demikian juga apa yang dilakukan Marx bahwa Konklusi dari Kaum Intelektual (Pemuda), dan Kaum Intelektual (masyarakat) adalah saling berhubungan diantara keduanya. Dalam hal yang lebih spesifik adalah pendidikan yang dilakukan oleh kaum Intelektual masyarakat kepada kaum intelektual muda.
Meskipun saat ini kondisi bangsa sedang terpuruk, kemiskinan dan mahalnya biaya pendidikan menjadi hantu bagi masyarakat Indonesia, pengemis-pengemis yang semakin hari semakin berkembang biak, mereka semua adalah manusia Indonesia yang juga memiliki hak untuk menikmati kekayaan alam negeri ini. Pengangguran-pengangguran kian merajalela, sarjana-sarjana hanya menjadi buruh dinegeri sendiri. Namun berbading terbalik dengan para aktor-aktor politik yang kian kaya memakai safari dan inventaris harta yang berlabelkan merk-merk dengan nilai beli cukup mahal, adalah bukti betapa saat ini Indonesia tidak mampu mewujudkan tujuan-tujuan founding father saat merumuskan kemerdekaan bangsa kala itu. Mencapai kesejahteraan, kemakmuran rakyat dinegeri ini bagai menegakkan benang basah.
Kaum Intelektual adalah jawaban dari segala harapan rakyat Indonesia, mengentaskan kemiskinan dan mengkebumikan mafia-mafia negara adalah kewajiban yang mutlak. Dengan semangat dan ideologi yang tersemat dalam diri kaum intelektual, untuk menjadi problem solver dalam masalah yang kian melarut tersebut. Kejernihan fikiran dan rasa nasionalisme kaum intelektual haruslah mendorong untuk melakukan suatu perubahan untuk menciptakan kondisi yang lebih baik.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar